Walau sudah lama lewat (lama banget malah, udah dua minggu!), saya tidak mau ketinggalan untuk merayakan Hari Buku Nasional yang jatuh pada tanggal 17 Mei kemaren. BBI sendiri juga merayakannya dengan membuat tema Postingan Bareng di bulan Mei dengan tema #BBIHariBukuNasional . Banyak kawan BBI yang menulis postingan tentang dunia buku di Indonesia dengan menarik, thought provoking dan rata - rata sebenarnya hampir sama bahasannya. yaitu tentang minat baca yang cukup rendah di Indonesia (saya bilang cukup, bukan sangat, karena sebenarnya masih ada harapan kalau mengutip katanya Raafi). Ada juga dari Mba Astrid dan Bintang yang membahas tentang pembakaran buku, salah satu issue buku yang sebenarnya mengkhawatirkan juga.
Nah, apa yang akan saya bahas kali ini? Saya lebih menyoroti perihal harga buku impor.
Iya, buku impor. Mungkin saya akan dianggap ngga nasionalis karena lebih memilih baca buku impor, but hey, that's my preference, not yours dan ga ada hubungannya sama nasionalisme :P. Saya PRIHATIN (dengan capslock menyala) melihat harga buku impor. Budget buku saya memang kebanyakan beli buku impor dan harga buku impor memang tidak main - main. Mengingat kurs rupiah juga turun tak mau, maunya naik terus terhadap dolar. Betapa kagetnya saya saat mengecek harga buku di tokbuk online langganan dimana harga buku incaran saya melonjak drastis. Layaknya wanita paham ekonomi, alias gemar mencari diskon, saya mengunjungi tokbuk online lain dan ternyata harganya sama mahalnya walau ada selisih harga sekitar 10ribu rupiah. Tak putus asa, walau sebenarnya saya terlanjut skeptis, saya mengecek Book Depository, yang merupakan junjungan "umat" pembaca buku impor. And guess what, bedanya bisa 40-50ribu sendiri!
Saya hanya bisa ngebatin, betapa mahalnya buku impor di Indonesia (yang sepertinya akan disaingi dengan makin mahalnya buku terjemahan). Saya tahu bahwa banyak faktor kenapa buku impor di tokbuk online langganan saya harganya melambung tinggi. Selain kurs, ada juga faktor pajak, bea cukai, keuntungan, dll dsb yang saya juga tak paham hitungannya bagaimana. Inilah kenapa ajang book fair impor Big Bad Wolf kemaren sukses besar. Betapa banyak orang antri, walau tentu ada beberapa pihak yang "nyinyir":
Atau meme Beritagar yang sangat ngga lucu di bawah ini:
Mari kesampingkan efek sampingan setelah BBW selesai, seperti kenapa di BBW kok lebih banyak buku anak dan buku masak sehingga membuat saya yang nyari buku fiksi cukup merana disana (tapi tetap beli banyak...yang rata - rata ya titipan orang :P), atau betapa orang tua jaman sekarang sebagian memiliki krisis disiplin karena tidak bisa mengarahkan anaknya (dan dirinya sendiri) untuk menjaga kebersihan dan kerapihan di BBW.
Apa yang membuat BBW ramai, bahkan kesannya lebih ramai dari book fair penerbit lokal?
BBW bagaikan angin surga bagi pembaca buku impor. Harganya yang bisa 70 persen lebih murah layaknya air pegunungan di tenggorokan musafir yang tersesat di padang pasir (oke, ini mulai lebay). Makanya, saya sedih kalau ada meme - meme yang menyinyiri event BBW. Sampai ada yang membandingkan dengan event ALF yang kebetulan juga dilaksanakan pada waktu yang sama. Beli buku pun rupanya sampai pada tahap "harus diwaspadai". Apa yang salah sebenarnya dengan bangsa Indonesia? Ketika beli tiket mahal, barang mewah, gadget dll dimaklumi, beli buku justru dipandang dengan sinis! Timpukan buku dianggap sama dengan artefak, dibeli hanya untuk dipajang. Padahal, itu hak dari pembaca yang membeli bukunya, apa akan dipajang saja atau dibaca.
Saya menganggap bahwa baca buku dalam bahasa lain selain bahasa ibu itu penting. Saya melihat, membaca buku bahasa Inggris masih menjadi momok bagi banyak orang. Sering saya menjumpai pembaca yang ketika serial yang dia ikuti berhenti di tengah jalan, tidak mau baca buku bahasa Inggris. Seolah membaca dalam bahasa Inggris susah. Padahal, menurut saya jika ada kemauan pasti ada jalan, seperti yang terjadi pada saya. Indonesia sendiri sudah memasuki era MEA, mau sampai kapan bangsanya sendiri, sudah minat baca bukunya mengkhawatirkan, baca buku dalam bahasa Inggris saja masih enggan.
Tentunya, masih ada solusi bagi yang menginginkan buku impor murah, seperti beli e-book misalnya, (dimana saya sering kalap klik ebook - ebook murah seharga 1 dollar saja). Tapi bagi pembaca hybrid macam saya atau yang lebih prefer buku fisik, buku impor murah itu memang bikin hati senang. Semoga saja, nantinya harga buku impor bisa lebih murah lagi, tidak hanya karena kurs turun, tapi demand dari pembaca Indonesia juga besar, pajaknya dihilangkan (atau mungkin ditekan sampai serendah - rendahnya, kalau dihilangkan mungkin terlalu ekstrim), bea cukainya "jujur" (ini debatable sih), dan keuntungan tokbuk online tidak besar (ini juga sama debatablenya).
Semoga tidak hanya jadi impian saya saja ya :D.