Pages

Kamis, 26 Juni 2014

Review: The Palace of Illusions oleh Chitra Banerjee Divakaruni


Judul: The Palace of Illusions
Judul Terjemahan: Istana Khayalan
Pengarang : Chitra Banerjee Divakaruni
Penerjemah : Gita Yuliani K.
Bahasa : Indonesia
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Jumlah halaman :  496 pages
Terbit : 2009

Format : Paperback

Genre : Fantasy
Target Pembaca: Dewasa

Web Pengarang: Click Here



Sinopsis :


Istana Khayalan adalah kisah Mahabharata yang diceritakan kembali dengan indah oleh Chitra Banerjee Divakaruni melalui sudut pandang Dropadi. Mulai dari kelahiran sang Putri dari dalam api, perkawinannya yang legendaris dengan para Pandawa, pengasingan di dalam hutan dan kehilangan kerajaan akibat kesalahan Yudistira, dan penghinaan Duryodana yang klimaksnya adalah perang antara Pandawa dan Korawa, Istana Khayalan merupakan jalinan kisah yang diinterpretasikan dari sudut perempuan di dunia yang didominasi oleh peperangan, dewa-dewa, dan tangan-tangan nasib yang senantiasa mempermainkan.


 Review



“...akan kuberikan sedikit nasihat padamu. Tiga saat berbahaya akan datang kepadamu. Yang pertama, tepat sebelum pernikahanmu: pada saat itu tahanlah pertanyaanmu. Yang kedua, pada waktu suami - suamimu berada di puncak kekuasaan mereka: pada saat itu, tahanlah tawamu. Yang ketiga akan datang waktu kau dipermalukan begitu hebat, seperti yang belum pernah kaubayangkan: pada saat itu, tahanlah kutukanmu. Mungkin ini akan mengurangi kedahsyatan bencana yang akan datang"


Note: Mengandung sedikit spoiler.

Ketimbang epos Mahabarata, saya jauh lebih kenal dengan epos Ramayana yang digubah oleh Walmiki yang saya baca semuanya pada masa SMA dulu. Saya menemukan buku itu di perpustakaan, di samping buku Kongonya Michael Crichton dan Ledakan Dendamnya Agatha Christie. Ya, jauh sebelum saya baca romance, buku yang saya baca lumayan serius, walau banyakan komik sih. Saat saya membaca Ramayana (saya lupa siapa penyadurnya, tapi masih ingat kavernya kayak apa. Saya ragu buku itu masih ada saat ini.), saya begitu tenggelam, begitu terpukau dengan kisah epik Ramayana dalam menyelamatkan Sinta dari cengkeraman Rahwana. Dan ya, saya baca dari awal sampai akhir. Saat itu entah kenapa banyaknya tokoh, silsilah dan istilah tidak membuat saya bingung (mungkin karena masih muda :P). Apalagi buku itu akhirnya ngga saya kembalikan ke perpus. Nakal ya saya :).

Itulah kenapa bagi saya Ramayana lebih berkesan ketimbang Mahabarata. Tapi saat seri Mahabharat diputar di ANTV dan kebetulan saya pernah melihat salah satu episodenya (dengan pemeran Arjuna yang entah kenapa paling ganteng, paling sering disorot dan paling sering berkibar rambutnya), saya sering ngegoogling tentang kisah Mahabarata. Sebenarnya sejak kecil pun saya tahu sedikit tentang Mahabarata, tentang perang saudara antara Kurawa dan Pandawa. Bahkan di pelajaran bahasa Jawa pun saya menghapalkan nama - nama raja dan kerajaannya. Tapi, itu semua hanya sambil lalu. Dan kali ini, lewat jalinan kata - kata Divakaruni di The Palace of Illusions yang diterjemahkan menjadi Istana Khayalan,  saya kembali menenggelamkan diri dalam epos Mahabarata.


“...bukankah kita semua bidak di dalam tangan Waktu, pemain terbesar itu?"

Istana Khayalan... apa hubungannya dengan epos Mahabarata yang amat dahsyat itu? Oh, erat sekali hubungannya, karena Istana ini adalah satu dari alasan dari terjadinya perang Baratayudha di Padang Kurukshetra. Diceritakan seluruhnya dari sudut pandang orang pertama, kita dikenalkan oleh tokoh utama kita, Dropadi atau Panchali. Sang putri yang lahir dari api, lahir karena pembalasan dendam sang ayah, lahir karena ditakdirkan akan menjadi istri dari lima pejuang besar, lahir karena dirinya akan mengubah sejarah. Istana Khayalan mengikuti perjalanan Dropadi, sejak dia baru lahir, kedekatannya dengan sang kakak Drestadyumna dan sahabatnya yang nakal tapi bijak yaitu Khrisna, untaian takdirnya yang dimulai saat ayahnya mengadakan sayembara yang juga memulai hasrat terlarangnya pada Karna, kehidupannya setelah pernikahan bersama Arjuna dan keempat saudaranya, Yudhistira, Bima, Nakula dan Sadewa. Lalu, perseteruannya dengan Kunti, sang ibu mertua, saat dia mendapatkan Istana Khayalan dan menjadi Ratu. Sampai akhirnya Dropadi mengeluarkan kutukannya yang terkenal, saat Yudhistira kalah main judi melawan Duryodana, saat dia bersumpah untuk tidak menyisir rambutnya sampai saat dia membasuhnya dengan darah Kurawa. Dan dimulailah perang yang semua bermula dari dendam, kesalah pahaman dan juga rasa amarah.

Jika saya bisa merangkum Istana Khayalan ini dalam beberapa kata, maka mengutip kata teman blogger saya, Ira : Hell hath no fury like women scorned and revenge is a dish best served cold. Ya, wanita memang mengerikan dan balas dendam itu bisa sangaaaat manis. Semua cerita di Istana Khayalan sejatinya sama dengan epos Mahabarata, apalagi jika kalian mengikuti epos ini ya. Bedanya adalah, kita melihat semuanya dari sudut pandang Dropadi, yang menurut saya bahkan sampai akhir sikap arogan dan sombongnya tidak berkurang. Saya bisa menerima Dropadi yang manja di usia belia, walau saat itu sebenarnya sisi feminisnya telah tampak. Tapi saya tak bisa menahan kecewa melihat perubahan sifatnya saat dia menjadi istri Pandawa, menjadi Ratu, lalu menemani Pandawa dalam pengasingan setelah kalah main judi. Divakaruni menunjukkan pada pembaca, bahwa apa yang dilakukan Dropadi bukan karena cintanya pada Pandawa, tapi lebih kepada keinginan egoismenya sendiri. Keinginannya untuk dipandang tinggi oleh orang - orang disekitarnya. Oh, ya, mungkin akan ada argumen bahwa "Dropadi tidak egois, karena dia menolak permintaan Drestadyumna untuk kembali ke kerajaannya untuk berada di sisi putra-putranya. Malah dia memilih untuk menderita bersama Pandawa". Tapi, ikhlaskah Dropadi? Atau dia tidak punya pilihan karena ini semua sudah digariskan nasib?


Lewat pandangan Dropadi, kita akan mengenal tokoh - tokoh penting di Mahabarata lewat sudut pandang baru. Siapa yang menyangka, kalau Dropadi sebenarnya mencintai Karna, mendambakan dirinya dan merasa takut akan hasratnya sendiri? Dan saya pun tak menyangka bahwa Karna juga berpikir yang sama. Tapi, nasib, lagi - lagi satu kata yang menentukan hidup orang ini membuat mereka hanyalah sebuah boneka yang dipermainkan oleh pembuat mereka. Pembuat bernama nasib. Saya berandai - andai, jikalau memang benar Dropadi mendambakan Karna dan dia berani mengutarakan pendapatnya, alih - alih malah menanyai asal usul Karna, mungkin perang Baratayuda tidak akan terjadi. Mungkin Karna tidak akan merasakan dendam yang teramat sangat yang berujung pada penghinaan Duryodana kepada Dropadi. Mungkin Karna dan Arjuna tidak akan berhadap - hadapan di padang Kuruk, saling membantai sampai akhirnya Pandawa tahu kebenarannya dan mereka tersiksa karenanya. Mungkin, mungkin dan mungkin.


Apakah keinginan membalas dendam lebih kuat daripada keinginan untuk dicintai? Sihir jahat  apa yang dimilikinya sehingga menarik hati manusia dengan begitu kuat kepadanya?



Saya tidak bisa menyalahkan Dropadi, pun tak bisa menyalahkan Kunti, Karna, Khrisna, Bisma (kakek Pandawa dan Kurawa yang memihak Kurawa), Srikandi, dan juga pelaku lainnya. Saya tidak bisa menunjuk mereka dan berkata "Ini salahmu. Karena kamu, si A mati. Karena kamu, si B menderita." Satu hal yang saya pelajari dari buku ini adalah, bahwa setiap tindakan akan ada konsekuensinya. Dropadi sudah diingatkan oleh Byasa akan tiga hal yang harus dia hindari, tapi toh wanita itu juga tetap melakukannya. Salahkah Dropadi? Atau, sia- siakah Byasa karena sudah memberitahu Dropadi? Lewat buku ini, Divakaruni seakan mengkritik epos Mahabarata, bahwa percuma melawan takdir, karena toh takdir tak bisa diubah, mau bagaimanapun kita berusaha keras untuk mengubahnya. Dia juga mengkritik sistem kasta yang ada, seperti saat Karna yang ditolak untuk mengikuti sayembara sampai Duryodana berkata: "Seorang pahlawan tetap pahlawan, tidak peduli apa kastanya. Kemampuan lebih penting dari kelahiran yang kebetulan." 

Layaknya novel yang ditulis perempuan, Divakaruni menyelipkan satu pemikiran bahwa "Sejarah memang tidak punya belas kasihan pada wanita." Seperti Dropadi yang kesal pada gurunya yang menyatakan bahwa "perempuan adalah akar dari semua kesulitan dunia." ; dan juga saat dia diberi aji - aji keperawanan agar bisa melayani kelima suaminya -seperti begitulah selalu sifat aji-aji yang diberikan kepada kaum perempuan, diberikan kepada kami seperti hadiah yang tidak diinginkan-. Rasanya aji - ajian ini memang tidak adil, bahkan Dropadi lebih memilih aji- aji pelupa, supaya dia bisa melupakan saat - saat bersama suami terdahulu saat melayani suaminya yang sekarang. Kenapa saya bilang tidak adil? Jika memang Pandawa mencintai Dropadi, mereka akan menerimanya apa adanya, entah Dropadi perawan atau tidak. Divakaruni memang menyinggung masalah kesucian wanita yang identik sekali dengan keperawanan. Menimbulkan pertanyaan, apa jika sudah tidak perawan, maka kesucian wanita akan berkurang? Membuatnya tak suci lagi? Karena itukah Sinta sampai harus melewati pintu api hanya untuk membuktikan kesuciannya pada Rama? Ya, ini bagi saya sangat tidak adil, karena jika wanita dituntut kesuciannya oleh pria, maka hal sebaliknya juga harus berlaku sama kan?.

Tokoh favorit saya di buku ini adalah Karna. Jiwa romantis saya merasa trenyuh sebenarnya membaca kisah Karna-Dropadi yang layaknya Romeo dan Juliet, bedanya hanya mereka sama - sama tidak tahu perasaan satu sama lain, dan saat tahu pun semuanya sudah terlambat. Apalagi Karna yang begitu tersiksa dari awal sampai akhir. Lalu, dari semua Pandawa, saya malah menyukai Bima, karena kesetiaannya pada Panchali, bahkan walau Panchali tak mencintainya sepenuh hati. Bima yang suka memasak dan memanjakan Panchali dengan makanan - makanan. Bima yang kuat, yang pertama kali maju untuk membela kesucian Panchali. Yang paling saya tidak suka adalah Arjuna, yang entah kenapa terasa jauh dan juga bahwa dia tidak mencintai Panchali seperti seharusnya, juga Yudhistira yang menurut saya terlalu kontradiksi. Bijak, tapi di satu sisi suka judi. Sedangkan Krishna, dia bagaikan enigma. Ada saat dia menunjukkan kasih sayangnya pada Panchali, ada juga saat Panchali merasa Krishna begitu jauh. Tapi, cinta Panchali dan Krishna yang platonic ini sebenarnya adalah bagian yang juga menarik di buku ini, sama seperti cinta tak sampai Dropadi pada Karna.


...kalau apa yang kurasakan bagi Karna adalah api yang membakar, cinta Krishna memberikan kesejukan, ibarat cahaya bulan di atas dataran gersang


Dari segi terjemahan, saya menyukai terjemahan Gita Yuliani yang luwes, walau ada beberapa istilah yang membuat saya mengernyit. Seperti saat menceritakan Dropadi yang pergi ke alam batin untuk melihat perang Baratayudha dengan istilah trance. Rasanya lucu membaca istilah bahasa Inggris untuk sebuah kisah yang berdasarkan mitologi India. Penulisan Divakaruni sendiri sangat bagus dan berhasil mengaduk - ngaduk isi hati saya. Berhasil membuat Dropadi tidak terlihat sempurna, tetap punya kekurangan sampai akhir. Berhasil membuat saya awalnya jengkel, lalu simpati, lalu jengkel lagi pada Dropadi karena tetap arrogan, manja dan keras kepala. Endingnya sangat bittersweet dan  menurut saya Divakaruni sudah berbuat adil pada semua tokoh - tokohnya.

Saya sangat merekomendasikan Istana Khayalan pada siapapun. Baik kamu tahu tentang Mahabarata atau tidak, sayang banget rasanya buku ini untuk dilewatkan. Siapa tahu, setelah membaca Istana Khayalan, kamu jadi mempertanyakan banyak hal yang ada di epos Mahabarata layaknya Divakaruni melalui Panchali. 

Terimakasih pada A.s.Dewi yang sudah menghadiahkan buku Istana Khayalan ini 2 tahun yang lalu. Maaf karena baru sekarang sempat membaca ^^; dan terimakasih banyak karena sudah memberi buku yang sudah yang lumayan langka ini XD. Istana Khayalan ini banyak banget dibaca oleh teman - teman GRI seperti Momo, Bang Harun, Mia, Kak Mute dll. Terimakasih karena sudah merekomendasikan (secara ngga langsung) buku yang sangat menarik ini :)

 Story  Rate

Saya memberi Istana Khayalan ini:

 

24 komentar:

  1. Aku vote Bima saja :)

    *kirim SMS sebanyak-banyaknya*

    BalasHapus
  2. Aku mah dari sejak pertama baca versi RA Kosasih udah cinta sama Bima. Sampe sekarang juga masih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku belum baca yang versi R.A. Kosasih. Komik kan ya?

      Hapus
  3. Kok sama ya aku juga dari dulu suka Bima biarpun arjuna lebih cakep, suka juga Gatot Kaca anaknya Bima (eh di sini dia ga diceritain ya) :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Gatotkaca ada kok Ceu. Ini Mahabarata dikisahkan dari awal sampai akhir, cuma emang dipersingkat

      Hapus
  4. Jadi tersentil nih karena Istana Khayalan saya juga masih tak terbaca padahal sudah hampir 2 tahun tertimbun. Divakaruni memang pinter nih mengulas feminisme dari sebuah epos, tak terbayangkan telatennya sang penulis. Saya tidak menyesal menimbun buku ini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jiiih, nyesel dong karena belum dibaca - baca juga Dioooon :))

      Hapus
  5. gak pernah tau sama cerita mahabrata nih...emang selain istana khayalan ini ada buku lain ttg mahabrata yang dari pov selain dropadi gk?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kayaknya baru Istana Khayalan aja Essy yang POV Dropadi. Mungkin juga karena dulu yang menggubah adalah pria, jadi Divakaruni seakan mau protes tentang perlakuan ke wanita2 di epos ini

      Hapus
  6. Eh, kalau saya malah duluan baca Mahabarata daripada Ramayana, jadinya somehow Mahabarata lebih berkesan daripada Ramayana :D

    Baru ngeh kalau Istana Khayalan ini ternyata cerita Mahabarata juga. Hahhh kenapa dulu ga beli *lalumenyesal*

    BalasHapus
    Balasan
    1. Banyak yang nyesel karena ga beli Istana Khayalan pas banyak diobral dulu ya :))

      Hapus
  7. nice review ren.
    cewek2 pada sukanya Bima krn cintanya paling nyata dibanding yg lain.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Soalnya Pandawa yang lain emang ga keliatan cintanya di sini. Yudistira terlalu senang main judi, Arjuna playboy habis, Nakula-Sadewa kayak g keliatan. Jadi emang Bima yang terasa cintanya.

      Tapi aku tetap suka Karna :))

      Hapus
  8. ngga yakin mau baca buku ini, tulisannya kecil kecil sih x_x

    BalasHapus
    Balasan
    1. Idem...itu juga alasannya buku ini masih setia di rak buku. Tapi kalau dilepas sayang juga... :))

      Hapus
    2. Eh, tulisannya ga kecil2 amat kok Vin :O . Ini masih dalam kategori yang enak dibaca

      Dan, jangan dilepas Mbak Desty. Nanti nyesel kayak yang ngga sempet beli buku ini :))

      Hapus
    3. Kalo mau beli di toko2 buku msh ada gak yah?
      Kalo beli online ada yg tau bisa dimana??

      Hapus
  9. Saya termasuk yang nonton filmnya di ANTV dan belum masuk tahap ini. Reviewnya keren :)

    BalasHapus
  10. uhuy.... daleeemmm banget repiunya, hahahaha *uhuk-uhuk*

    BalasHapus
  11. Mau baca. Apakah masih ada yg di toko buku? Apakah GPU menerbitkan kembali?

    BalasHapus
  12. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  13. Dari review kak Ren, kayaknya ini buku layak dikoleksi. Aku juga suka banget baca buku2nya Chitra B. Divakaruni. Ceritanya selalu "dalam" dan mengena. Coba kak, baca bukunya yang lain juga.

    BalasHapus

Terimakasih sudah meninggalkan komen di Ren's Little Corner. Silakan untuk setuju/tidak setuju dengan review/opini saya tapi mohon disampaikan dengan sopan ya :)

Saya berhak menghapus komentar yang tidak nyambung dengan isi blog atau spamming (jangan sertakan link blog kamu/ link apapun di kolom komentar, kecuali untuk giveaway).

Komen untuk postingan yang berusia lebih dari 1 bulan otomatis akan dimoderasi.

Terimakasih sudah mau berkunjung! :D