Pages

Kamis, 26 Maret 2015

Opini: Reviewer/Blogger sebagai Penulis dan Sebaliknya, Why Not?

Tidak biasanya saya membuat postingan opini sampai dua kali dalam seminggu apalagi sampai berturut - turut. Tapi ada beberapa hal yang terus ada dalam pikiran saya dan membuat saya mesti menyuarakan opini kalau pengen suara - suara itu diam :P. Jadi, di hari  Rabu kemaren saya  melihat postingan Jessica Clare, seorang penulis dengan genre NA (New Adult)  yang mungkin beberapa pengunjung blog Ren's Little Corner tahu siapa dia. Usut punya usut ternyata Jessica Clare sedang membela Jen Frederick, salah satu author genre NA yang juga co-author dengan Clare. Frederick sendiri ternyata adalah nama pena dari Jane Litte, pemilik blog Dear Author, blog yang sangat saya suka kunjungi karena review mereka yang bagus, to the point dan suka mengulas isu - isu terkini di dunia literatur. Mereka juga menunjukkan bahwa sebagai penggemar romance, contrary to popular believe bahwa otak kami cetek secetek cerita romance, we are intelligent people, dan itulah yang dibawa oleh Dear Author. Saya juga follow twitter Jane dan selalu menghibur membaca tweetnya yang kadang suka provokatif tapi juga sarat informasi

Ceritanya sendiri dimulai dari artikel berikut ini (A Letter to the DA Readership), dimana Jane Litte menjabarkan alasannya untuk membuka identitas nama penanya. Jane menjelaskan jika awalnya dia adalah blogger, dan mungkin karena lelah dituding "kenapa menulis banyak banget review negatif? gimana kalau kamu mencoba menulis ceritamu sendiri?", Jane mengambil keputusan dengan mengikuti event Nanowrimo dan dengan dorongan dari Jessica Clare akhirnya menerbitkan sendiri bukunya dengan nama pena Jen Frederick. Di artikel itu terpampang nyata betapa memisahkan personanya sebagai blogger dan writer adalah hal yang cukup sulit. Di satu sisi Jane ingin tetap mempertahankan integritasnya sebagai blogger, di sisi lainnya jika dirinya ketahuan sebagai penulis juga, penulis atau fans buku yang direview negatif olehnya akan semakin mencemooh Jane. Saya sendiri mengacungkan jempol pada keberanian Jane untuk blak - blakan walaupun dia tahu akan ada beberapa orang yang tidak senang (bisa dibaca di komen - komennya). Apalagi Jane adalah seorang pengacara, istri, ibu, blogger, dan kali ini writer! 

Tentu saja opini ini bukan tentang saya yang memuja - muja Jane yang sudah jujur akan identitasnya, tapi membahas tentang sebuah pemikiran yang cukup menggelitik...

Apakah ada semacam kode etik atau kode tak tertulis yang menyatakan jika penulis tidak boleh mereview negatif buku penulis lain? (apalagi kalau ternyata mereka temenan)

Dan,

Apabila seorang blogger/reviewer buku yang selama ini terkenal dengan opini/reviewnya yang kritis kemudian menjadi seorang penulis, apa dia tidak boleh mereview lagi? Atau katakanlah tetap mereview, tapi reviewnya harus yang full of sunshine, rainbow and unicorn sing a song?


Mari membahas yang  pertama. Penulis mereview buku penulis lain adalah hal yang cukup tricky jika dilihat dari pandangan umum. Contoh kasusnya, jika penulis A memberi buku penulis B dengan rating 5 bintang dan review yang positif, maka ada kemungkinan:
1. Bukunya memang beneran bagus bagi penulis A
2. Penulis A adalah buzzer atau teman atau kenalan atau saudara penulis B

Jika berpikiran positif, maka saya akan memilih kemungkinan pertama. Jika ingin mencoba realistis, bisa jadi kemungkinan kedua lah yang terjadi. Karena jika mau bersuudzon ria, mana mungkin sih kalau penulis A itu saudaranya penulis B, lalu bukunya mau dijelek - jelekin gitu? Ntar pas Idul Fitri bisa - bisa saling tak tegur sapa. Walau bisa jadi kemungkinan yang pertama juga mungkin, namun yang dari saya amati, kebanyakan  jatuh di kemungkinan yang kedua.

Sekarang contoh kasus yang kedua, penulis A rupanya hanya memberi buku penulis B dengan rating 1*. Maka ada kemungkinan berikut:
1. Penulis A memang tidak menikmati bukunya
2. Penulis A ingin menghancurkan karir Penulis B!!

Saya yakin, penulis B atau fansnya akan berpikiran yang kedua dan saya tidak bisa menyalahkan mereka. TAPI, ada tapinya nih, mereka boleh saja berpikir penulis A itu ga suka dengan karir penulis B dengan cara:
1. Merate 1 bintang buku penulis B tanpa ada alasan atau review. Atau jikapun ada review, reviewnya hanya "buku ini sampah", "mendingan buku gue", dll dsb
2. Tidak mereview bukunya, tapi membahas pribadi pengarangnya. Seperti, "ga usah baca buku si B ini deh. Gw kenal banget si B, dia hobinya nyemplung ke kali pas masih TK" , dll dsb
3. Tetap mereview bukunya, tapi juga tetap bahas pribadi pengarangnya, atau hal yang tidak relevan. Seperti "yah pantas saja buku romance ini ga bagus buat gw. Pengarangnya aja masih abege labil. Tahu apa dia tentang cinta?"

Namun, jika penulis A memang asli tidak suka dengan buku penulis B dan dia pun menjabarkan kenapa dia tidak suka dengan alasan yang cukup bisa diterima maka saya tidak akan bilang jika penulis A ingin menghancurkan karir penulis B. Apalagi jika hal ini memang murni selera baca, maka adalah hak si A untuk mengutarakan pendapatnya kenapa buku si B tidak bagus dengan cara A. Kenyataannya? Kadang B yang tidak legowo tetap menuduh si A. Ataupun kalau B tidak ambil pikir, fansnya yang akan berkoar - koar dan menyudutkan si A. Bahwa A sendiri bukunya ga lebih bagus dari buku B, atau buku B itu jauh lebih keren. Akhirnya terjadilah debat kusir dll.

Saya sendiri sering mendapati beberapa penulis yang mereview buku karya penulis lain dengan rate 1*. Ada Nilam Suri dengan Ayat Ayat Cinta , lalu Shienny M.S yang baginya Divergent dan Prince of Thorns tidak bagus, dan ada juga Bang Christian Simamora yang mereview buku indie yang digadang - gadang erotica pertama namun kenyataannya tidak sama sekali. Ada pula Yuli Pritania yang saya lihat cukup kritis dalam mereview buku - buku romance lokal yang dia baca. Menurut saya, bagi Shienny memang murni seleranya yang tidak suka dengan buku yang dia baca, walaupun satu dari buku yang dia rate jelek itu jauh lebih laris daripada seri Ther Meliannya. Bagi Bang Ino, itu juga selera dan juga rasa penasaran yang berubah jadi kecewa. Tapi saya miris melihat review AAC Nilam yang dihujat banyak orang, padahal AAC simply doesnt work for Nilam! Lucunya, ada yang menuduh Nilam mendompleng ketenaran AAC untuk novelnya sendiri, padahal review AAC Nilam dipost tahun 2009-2010 dan bukunya baru terbit 2-3 tahun kemudian. Saya yakin beberapa juga ada yang berpikir sehebat apa si Yuli Pritania sampai "membabat habis" buku romance yang dia  baca, padahal emang bukunya sendiri laku gitu? Dan, masih banyak lagi contoh yang lain.

Jadi, jika penulis merate buku penulis lain bagus, itu tidak masalah. Bahkan seandainya penulis itu buzzer, pembaca memilih mengabaikan hal itu dan senang kalau penulis idola mereka menyukai buku penulis lain yang berakhir dengan membaca buku penulis yang direkomendasikan (entah nantinya beneran bagus atau tidak). Lain halnya jika yang terjadi kebalikannya. Si penulis yang merate jelek akan di-bully, dicaci maki, dianggap tidak punya simpati, dianggap tidak etis dan sebaliknya. Itulah yang akhirnya membuat beberapa penulis jadi ekstra hati - hati dalam mereview. Padahal, menurut saya, jika sang penulis mereview buku dari segi sebagai pembaca, harusnya dia BEBAS DALAM MEREVIEW!! Tanpa rasa takut, tanpa rasa khawatir dll. Sudah seharusnya pembaca, penulis ataupun penggiat buku sadar bahwa review itu bukan satu - satunya penentu bagus tidaknya penjualan! Review bagus tanpa dibarengin promosi yang oke akan membuat buku itu hanya teronggok di rak toko buku. Sebaliknya bisa saja review yang jelek namun mengundang rasa penasaran orang lain akan mengeboost penjualan.

Sama halnya dengan reviewer/blogger yang lalu jadi penulis, saya merasa pasti ada semacam perasaan was - was, sama dengan yang dirasakan Jane Litte. Bagaimana tetap mempertahankan sisi kritis dalam mereview buku, tapi harus menahan diri karena sekarang dirinya juga seorang penulis. Karena jika sampai tidak suka suatu buku dia pasti akan berpikir keras bagaimana mereview buku itu tanpa harus membuatnya dibully atau dicaci maki fans bukunya. Dan akhirnya memilih untuk hanya merate dengan rate rata2 (3 bintang ke atas) lalu tidak menulis reviewnya dengan alasan karena tidak etis rasanya atau takut nanti akan dibalas. Bagi saya, alasan yang terakhir ya kurang masuk akal. Jika penulis yang bukunya dirate jelek oleh penulis lain lalu membalasnya dengan menjelek - jelekkan koleganya, maka hal ini hanya akan jadi seperti ular uroboros. Tidak ada akhirnya

Kesimpulannya, entah kamu seorang penulis, atau reviewer/blogger yang sebentar lagi jadi penulis, tetaplah mereview buku yang kamu baca meskipun nantinya buku itu tidak kamu suka. Saya sangat mendukung review dalam bentuk apapun, baik positif maupun negatif selama review itu adalah tentang bukunya, bukan membahas yang lain (kecuali ingin memberikan info kalau bukunya ternyata adalah hasil plagiat, menurut saya itu sih ga masalah. Atau pengarangnya suka ngebully reviewer yang kasih review negatif. Ini juga boleh banget dibagi >:( ). Tidak perlu takut kena karma jika mereview negatif buku lain, jika memang selera kalian tidak cocok dengan buku lain. Karena membaca dan mereview buku yang kita baca adalah hak masing - masing, sudah seharusnya kita tidak perlu takut dalam mengutarakan pendapat meskipun itu bukan pendapat yang populer.

Jika teman - teman pengunjung blog Ren's Little Corner ingin berbagi opini tentang hal ini, silakan tuliskan opini kalian di kolom komentar ya :) .

15 komentar:

  1. Review negatif sebetulnya menurut kode etik itu tidak baik dalam bidang apapun. Karena review yang baik itu harusnya berimbang antara positif dan negatifnya. Review yang jujur, bukan dibuat-buat. Jadi boleh kita jelekin suatu karya, tapi tetep harus bisa setidaknya menggali hal positif dari apa yang kita review tersebut. Dengan demikian review kita tetep netral, dan menyerahkan seluruh kesimpulan (baik atau buruknya) kepada pembaca review.

    Karena review itu menurut saya sebagai bentuk apresiasi sebuah karya. Kalau karya tersebut karya komersil, ada baiknya kita hormati dengan memberi review yang berimbang. Jangan sampai menjatuhkan karya, membuat banyak orang terpengaruh dan akhirnya ngga beli karya tersebut. Kesannya jadi kayak propaganda, dan itu tidak baik.

    So, silahkan review apapun sebebas-bebasnya namun tetep berpegang teguh pada kode etik review~
    Seburuk-buruk karya masih lebih baik dari sekedar mereka yang cuma bisa membaca tanpa menghasilkan apapun, dan seburuk-buruk kita menjelekkan sesuatu, korbannya pasti hati. Dan kita semua udah tau apa yang bisa dilakukan oleh hati yang terlanjur sakit. :))

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sorry, I beg to disagree. Intinya dari kalimatmu disini: "Seburuk-buruk karya masih lebih baik dari sekedar mereka yang cuma bisa membaca tanpa menghasilkan apapun". intinya sebagai pembaca dilarang mereview negatif ya? Riteeee....

      Intinya sih dirimu ga ngerti point2 yang aku utarakan disini. Masalah review negatif jatuhnya jadi propaganda, tergantung dari kacamata mana dulu. Belum tentu juga orang ngga jadi beli hanya karena review negatif. Contohlah FSoG, review negatifnya kurang banyak kayak gimana, toh bukunya juga tetep laris

      Hapus
    2. Sepertinya saya telah salah berkomentar di post ini. Thank you~

      Hapus
    3. Review negatif itu kan beda sama review yang emang pada dasarnya punya niat untuk menjatuhkan karya orang. Asal ada point-point yang mendukung reviewnya meskipun jelek semua kalau kata ku sih ngga masalah, dengan begitu kan si penulisnya juga tahu lubang-lubang di karya dia itu di mananya. Lagipula seseorang itu cenderung hanya mengambil pujian dan mengabaikan kritikan, kalau kayak gitu terus kapan mau majunya?
      Tapi suara Glen yang bilang "boleh kita jelekin suatu karya, tapi tetep harus bisa setidaknya menggali hal positif dari apa yang kita review tersebut." juga ngga bisa dibilang salah. Kalau ada hal bagus yang emang bisa di share kenapa engga?
      Tapi saya sakit hati juga sih saya sama tulisannya glen yang ini : "Seburuk-buruk karya masih lebih baik dari sekedar mereka yang cuma bisa membaca tanpa menghasilkan apapun,". Saya ngga tahu ya gimana sama kamu Glen, tapi ngga semua orang punya bakat untuk menghasilkan tulisan sepanjang 200 halaman atau lebih atau bahkan punya waktu sama sekali untuk mulai, bisa ngeblog dan bikin review seadanya aja udah bersyukur.

      Hapus
    4. Aku baru tahu kalau kode etik mereview adalah review yang negatif >.<
      Masalah gini, jika kita memang tidak menyukai suatu buku, gak mungkinkan kita mereviewnya positif?!! Jatuhnya jadi munafik.
      Dan ia kata-kata Mas Glen itu; "Seburuk-buruk karya masih lebih baik dari sekedar mereka yang cuma bisa membaca tanpa menghasilkan apapun." itu rada nganu. Hasil yang dimaksud adalah tulisan? Mereview pun adalah proses menulis. Jika yang dimaksud Novel, oh ayolah tidak semua orang ingin menulis novel fiksi. Blogger di sini adalah konsumen yang mereview produk yang ia baca, dan jika mereka tidak menyukainya, hak mereka untuk mereviewnya dengan negatif. Apalagi jika buku itu dibeli dengan uang sendiri dan ternyata sampah, buang-buang uang saja. Tapi aku sepakat, jika menemukan positifnya tentu seorang blogger baiknya mengatakannya.

      Hapus
    5. Maaf, saya kan udah bilang sebelumnya... review yang baik itu berimbang~
      Gini contohnya...

      Misal ada buku A bener2 jelek... dan kamu review segala kejelekannya... it's okay... tapi seenggaknya sisipkan 1 atau 2 kalimat yang melihat sisi positif dari karya tersebut..

      Contoh:
      Karya A ini bener-bener nggak bagus dari sisi plot yang mudah banget ketebak. Tapi karakterisasinya cukup mumpuni hingga beberapa bagian.

      ^ just that... udah cukup untuk dikatakan kalo review kamu itu sesuai kode etik...

      anggap sebuah karya adalah individu, sosok makhluk yang mungkin bisa juga ngerasa tersinggung~ cuma masalah pola pikir sih... :)

      Hapus
    6. Maaf deh kalo ada salah2 pemilihan kata... saya ngetiknya buru2 soalnya... :)

      Hapus
  2. belum apa-apa postnya Mbak Ren sudah memancing perdebatan yah. *tepuk tangan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehe.. ga ada tanggapan darimu nih? :)

      Hapus
  3. Fans fanatik penulis itu memang rada nganu ya Mbak >.< Kadang saking gemesnya pengen ta tabokin >.<

    BalasHapus
    Balasan
    1. Trust me, I've been there :P... kalo dipikir2 juga ga usah sampe segitunya ngebela penulis kesayangan sih, hahaha. Kenal juga ngga

      Hapus
  4. Saya bisa nangkap maksudnya Glen yg bilang kalau review itu harus berimbang antara yang bagus dan nggaknya. Meski review sifatnya subjektif, sebagai reviewer kita juga harus bisa ngasih informasi kepada pembaca bagusnya dan buruknya suatu karya. Sedapat mungkin tidak berpihak. Kalaupun karyanya jelek plus hancur banget menurut kita, setidaknya kita memberikan apresiasi si penulis sudah bisa menerbitkan karyanya.

    Tapi.... saya nggak sreg juga sih sama kalimat "Seburuk-buruk karya masih lebih baik dari sekedar mereka yang cuma bisa membaca tanpa menghasilkan apapun". Sama kalimat itu saya mo bilang, "hey I'm a reader here not a writer". Bikin review itu juga karya, pake mikir, pake analisis. Well said.

    Yang ngeselin sih kalau penulisnya defensif habis, dan ga bisa nerima kritikan. Atau tingkah fans yang nyerang reviewer hanya karena nggak mau pujaannya dikritik.

    BalasHapus
  5. Saya seorang yang percaya karma. Jadi ketika saya mengritik sebuah buku, saya seberusaha mungkin untuk fokus ke karyanya. Meski ngga bisa 100%, tentunya. Dan ketika menulis kritik sepedas apapun, saya selalu memposisikan diri sebagai penulis, yang mau ngga mau harus siap jika suatu ketika akan ada reviewer lain yang mengkritik karya saya.
    Sebenernya sih kritik pedas itu nyelekit, awalnya, well setidaknya bagi saya pribadi. Tapi lama kelamaan, saya belajar dari kritik tersebut, bahkan dengan tangan terbuka mengajak si reviewer untuk membantu saya memperbaiki kesalahan apa yang sebaiknya saya perbaiki.
    Daann...selama ini mereka mau aja kok diajak kerja sama. Jadi menurut sayaa, ya udah sih, kalau ada yang bilang karyamu jelek, kamu bisa membangga banggakannya dalam hati. Setidaknya kan kamu masih dapat royalti. ((Heh))
    *balik ke pundak naga bareng Leo

    BalasHapus
  6. Boleh ikut komentar kan.

    Saya paham maksud beberapa atau satu komentator di atas yang menyebutkan menyenai 'review berimbang'
    Tapi begini ya. Terkadang ada karya yang ketika orang tanya. " Yang salah dari karya itu apa sih?"
    Maka jawaban orang bijak adalah. " Nggak ada yang salah. Soalnya karya tersebut nggak ada benarnya sama sekali"

    Terkadang baik disadari atau tidak harus diakui jika didunia ini memang ada Karya yang nyari 90%lebih banyak negatifnya dari positif, dan saat seorang reviewers menemukan hal tersebut, faktanya mampukah dia mengungkap sisi positifnya?
    Di sini saya sekali lagi setuju dengan mbak ren. Apabila si reviewers mampu mengungkapkan alasa kenapa sebuah karya ia nilai negatif hingga rasanya dilirik saja malas, dengan tepat dan logis, saya pikir bukanlah sebuah kesalahan.
    Contoh soal: Robin hood mencuri demi rakyat jelata. Keren kan? Tapi bukankah namanya mencuri tetaplah salah apapun bentuk dan alasannya? Semoga perumpamaan saya ini sudah tepat. Bila salah mungkin bisa dibenarkan :)
    Sekilas aja sih komen saya. Sekali lagi ini dari sudut pandang saya yang kebetulan juga seorang blogger dan doyan ngerepiew. Apa aja saya repiew termasuk makanan heheheheh.
    Met siang met makan
    Adios

    BalasHapus
  7. Menarik ketika baca komentar Mas Glenn mengenai "kode etik review" -- karena aku sih belum pernah dengar istilah itu. Kode etik juga mau dilihat dari sisi mana sih. Karena yang namanya kode etik pasti berbeda-beda tiap komunitas. Sebagai contoh, kode etik jurnalistik saja ada beberapa macam, tergantung organisasi wartawannya. Ada yang dari Persatuan Wartawan, ada yang Aliansi Jurnalis Independen, dll. So tidak ada satu kode etik yang berlaku secara universal. Jadi aku tergelitik membaca komentar ini dan ingin tahu darimana Mas Glenn mendapatkan kode etik tersebut dan apakah boleh aku baca kode etiknya :)

    Aku juga tergelitik dengan komentar "Seburuk-buruk karya masih lebih baik dari sekedar mereka yang cuma bisa membaca tanpa menghasilkan apapun" -- karena dari sudut pandang ini, pembaca telah menyisihkan waktu dan uang mereka juga untuk membeli karya ini. Di dalam dunia bisnis ada produsen ada konsumen. Ingat lho, tanpa konsumen (dalam hal ini tanpa pembaca) maka karya tersebut juga tidak akan ada artinya. Ada hubungan timbal balik yang erat antara produsen dan konsumen. Jadi posisi yang diambil Mas Glenn itu termasuk merendahkan konsumen...

    Untuk masalah review berimbang -- well, setiap orang sih punya pendapat/prinsip masing2 ya. Aku sih tidak mau ambil pusing, jujur saja. Sebab aku kalau tulis review/resensi itu terutama untuk diri sendiri dan pembaca lain bukan untuk penulis. Penulis sudah punya lingkaran kritikus (beta reader, critic group) yang bisa memberikan masukan untuk karyanya. Namun kalau kembali pada diri sendiri, aku sih memang selalu berusaha mencari yang 'positif' dari sebuah karya. Minimal sampul bukunya kalau cerita/karakternya benar2 jelek. Atau cara lain? Ya DNF (do-not-finish) saja bukunya, dan tidak dikasih rating. Tapi sekali lagi itu adalah gaya masing2 reviewer. Untuk aku sih, selama si reviewer bisa menyatakan alasan mengapa dia menganggap karya itu negatif ya tidak masalah.

    BalasHapus

Terimakasih sudah meninggalkan komen di Ren's Little Corner. Silakan untuk setuju/tidak setuju dengan review/opini saya tapi mohon disampaikan dengan sopan ya :)

Saya berhak menghapus komentar yang tidak nyambung dengan isi blog atau spamming (jangan sertakan link blog kamu/ link apapun di kolom komentar, kecuali untuk giveaway).

Komen untuk postingan yang berusia lebih dari 1 bulan otomatis akan dimoderasi.

Terimakasih sudah mau berkunjung! :D