Selasa, 01 Oktober 2019

Review: Stardust oleh Neil Gaiman

Judul: Stardust
Judul Terjemahan: Serbuk Bintang
Pengarang: Neil Gaiman
Penerjemah: Femmy Syahrani
Bahasa : Indonesia
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Tebal : 256 halaman
Diterbitkan pertama kali : Februari 2007

Format : Paperback
Target Pembaca : Dewasa

Genre : Fantasy


Sinopsis :

Ini dongeng untuk orang dewasa. Alkisah, di padang-padang rumput Inggris yang tenang, lama berselang, ada sebuah desa kecil yang selama 600 tahun berdiri di atas tonjolan batu granit. Di sebelah timur desa itu ada tembok batu yang tinggi. Itu sebabnya desa itu dinamai desa Tembok. Di desa itu, pemuda Tristran Thorn jatuh cinta pada si cantik Victoria Forester. Dan di sini pula, pada suatu senja bulan Oktober yang dingin, Tristran membuat janji pada si gadis. Janji gegabah yang membawanya berkelana ke negeri di balik tembok, menyeberang padang rumput, masuk ke Negeri Peri. Dan di sana dimulailah petualangan paling mendebarkan dalam hidupnya.

 Review

Dua hari berturut - turut ngeblog..apakah ini pertanda Ren bakal rajin ngeblog? Hmm...saya sih ga mau janji muluk - muluk haha, dan akan tetap ngeblog when the mood strikes atau ada buku yang memang bisa ditulis reviewnya dengan cukup oke. Kalau ga ada..ya balik hibernasi lagi XD. Oke, cukup bercandanya. Sama seperti Tokyo Zodiac Murder, saya pun baca Stardust karena dulu pinjem bukunya punya teman saya, Iestea. Tidak enak hati karena sudah pinjam sampai bertahun - tahun, mau tidak mau dibaca juga. Padahal saya pinjam Stardust barengan Good Omens, tapi malah Good Omensnya sudah dibaca sejak lama. Entah kenapa tidak baca Stardust saat itu. Mungkin karena bagi saya ending Good Omens agak "kentang"...dan ternyata Stardust ini juga rada "kentang" bagian akhirnya, hehe.

Dari semua review teman di Goodreads yang saya baca, nyaris semuanya membandingkan dengan versi filmnya. Hal ini wajar, karena versi terjemahannya sendiri juga hampir berbarengan terbitnya dengan jadwal rilis filmnya. Sama - sama tahun 2007 (wow, 12 tahun yang lalu! Dan pemeran Yvaine, Claire Danes masih awet cantiknya sampai sekarang, lol). Rata - rata pun sudah menonton filmnya dulu, dimana menurut saya ternyata beda buku sama filmnya BANYAK banget. Jadi review ini lebih ke perbandingan buku dan film. Expect spoiler if you not read the book yet or watch the movie (tapi filmnya mah sering diputer lho, hahaha. Plus terjemahannya udah cetul)
 
Again, fair warning...review ini akan full spoiler. Jadi read at your own risk ya :)

Hal pertama yang paling mencolok adalah perbedaan nama tokoh utamanya. Entah kenapa namanya Tristran, sementara di film jadi Tristan. Saya sih prefer Tristan karena lebih pronounceable di lidah (and Tristran is weird af XD). Kemudian, alur penceritaan di buku dan film yang pace-nya sendiri cukup berbeda. Ceritanya secara garis besar cukup sama. Namun di buku, kisah pertemuan ayah Tristran dengan ibu kandungnya lebih detail ketimbang di film, bahkan di buku Lady Una lebih kelihatan misterius ketimbang di film yang terlihat biasa saja. Lalu pertemuan Tristran dengan Yvaine di versi buku cukup lama mulainya (malah menurut saya agak dragging). Setelah pertemuan dengan Yvaine ini, alur buku bergerak cukup cepat sampai ending yang..entahlah bagi saya agak anti-klimaks. Saya sudah tulis di awal review ini, bahwa Good Omens agak "kentang" endingnya. Itulah kenapa saya mengurangi rating buat Good Omens juga karena bagian terakhirnya yang saya rasa anti-klimaks. Entah apakah ini ciri khas Gaiman, bikin bagian akhir dan ending yang "eh, gini doang?"

Sementara versi filmnya...it's more adventurous and fun for sure! Filmnya memang menurut saya ceritanya khas Hollywood sekali tapi masih dalam kadar menghibur. Scene saat Tristran dan Yvaine ditemukan oleh Captain Shakespeare itu juara. Nah masalahnya, di bukunya ini ga ada namanya Captain Shakespeare (yang diperankan dengan sangat bagus oleh Robert DeNiro). Di bukunya, Tristran dan Yvaine memang beneran nyangkut di awan ketika kabur dari penyihir Lamia (yang diperankan Michelle Pfeiffer) dan mereka memang ditolong oleh kapal penangkap petir. Tapi nama nahkodanya bukan Captain Shakespeare dan nahkodanya ini ga eksentrik plus cross-dresser seperti versi filmnya. Jujur untuk adegan Tristran dan Yvaine di kapal penangkap petir, saya lebih suka versi filmnya. Soalnya adegan ini cukup signifikan buat menggambarkan perkembangan cerita Tristan dari seorang pemuda naif dan bucin parah menjadi pemuda yang memasuki masa dewasa dan menyadari kalau cinta sejatinya ternyata Yvaine. Sementara di buku, perkembangan karakter Tristran lebih ditonjolkan di perjalanannya selama melewati dunia dibalik Desa Tembok dan pertemuannya dengan makhluk - makhluk peri. Masalah waktu juga sangat berbeda, di film rasanya perjalanan Tristan ga begitu lama (mungkin 1-2 bulan, walau saya juga kurang bisa memastikan Tristran di kapal Captain Shakespeare itu berapa lama) sementara di buku terasa berbulan - bulan lebih. Ya, mungkin wajar juga kenapa di film terasa cepat karena masalah durasi. Personal opinion, kapan lagi bisa lihat Robert DeNiro main jadi cross-dresser karakter yang berusaha menyembunyikan hobinya ini dari anak buahnya, dan lihat dia menari dengan irama musik can-can XD.

Walau begitu, tidak lantas bukunya jadi jelek. Bagi saya malah bukunya lebih menonjolkan sisi magisnya dunia dibalik Desa Tembok. Saya lupa di film dunia lain itu dianggap apa, mungkin cuma dunia sihir saja. Tapi di buku, diceritakan bahwa ini dunia para Faerie. Nah yang seneng fae, fairy, fairfolk, Seelie dan Unseelie Court, pasti bakal suka! Soalnya memang magical banget dunianya Stardust! Sayangnya, walau buku ini dibilang punya unsur romansa, saya jauh lebih suka penceritaan di versi filmnya ketimbang buku. Walau secara garis besar kisah romansa Tristran dan Yvaine antara versi buku dan versi film hampir sama, di film lebih terasa chemistrynya. Di buku hampir...kering. Kering banget malah bagi saya tidak berasa romance sama sekali hahaha. Mungkin karena ya saya pembaca novel romance, jadinya saya merasa ini fase Tristran jatuh cinta ke Yvainenya kurang  dilihatkan. Apalagi terasa sekali bedanya saat Tristran pergi menemui Victoria untuk bilang kalau dia sudah menemukan bintang jatuh. Di film Tristran dengan dewasa bilang kalau dia sudah ga suka Victoria lagi dan lebih memilih Yvaine. Sementara di buku, saya menangkap kesan Tristran seperti "terpaksa" merestui pernikahan Victoria dengan Mr Monday, meskipun saat itu sepertinya Tristran juga sudah menyadari kalau dia mencintai Yvaine. Bagusnya, Victoria versi buku tidak semenyebalkan versi filmnya.

Perbedaan paling besar antara buku dan film, selain adegan dengan Captain Shakespeare, adalah pertempuran di bentengnya sang penyihir. Ini sangat BERBEDA dan saya lagi - lagi lebih suka versi filmnya, hahaha. Versi filmnya memang sederhana, seakan dibuat sebagai homage untuk film fantasy romansa jaman dulu (The Princess Bride, Ladyhawke. Lucunya Michelle Pffeifer juga main di Ladyhawke). Tapi bagi saya disitu lah bagusnya. Sementara bukunya memang terasa seperti buku fantasy - fantasy klasik jaman dulu. Sayangnya, banyak bagian di buku yang kurang dijelaskan di. Seperti latar belakang Stormhold, lalu apa itu Persaudaraan Istana yang disebut - sebut dan sepertinya semua anggotanya pada perhatian sama Tristran, dan masih ada beberapa lagi. Oh ya, bukunya sendiri juga memuat unsur "nursery rhyme", plus lebih jelas setting waktunya yaitu di era awal Ratu Victoria. Kalau filmnya kan...ya penonton kurang tahu desa Tembok ini dimana (paling ya Inggris, gitu aja hehe).

Endingnya pun walau hampir sama, dimana Tristran dan Yvaine jadi penguasa Stormhold, tapi ya lagi - lagi berbeda. Di film they live happily ever after, sementara di buku kisah Tristran dan Yvaine mau tidak mau mengingatkan saya dengan Aragorn dan Arwen. Walau Yvaine sendiri akhirnya menjadi penguasa tunggal Stormhold karena dari awal juga dia bukan manusia. Ending buku lebih terasa bittersweet, tapi saya suka. Karena di buku dijelaskan juga kalau Tristran ga langsung memerintah, tapi dia dan Yvaine melakukan semacam perjalanan yang menurut saya bisa jadi satu buku sendiri kalau diceritakan.

Sebenarnya secara diplomatis juga Neil Gaiman pernah bilang "ending filmnya bagus untuk filmnya, dan ending buku juga sesuai untuk bukunya". Jadi walau banyak bedanya, meski filmnya cukup setia dengan versi buku, anggap saja filmnya adalah versi lain dari bukunya yang juga sama menariknya. Tergantung preferensi kamu yang mana ya. Apa lebih suka versi yang fun dan penuh petualangan dibumbui kisah romansa yang ciamik seperti filmnya, atau versi yang lebih penuh daya khayal dan magis, dipenuhi dengan aneka rupa makhluk mitologi seperti bukunya.

Untuk terjemahan, menurut saya sudah bagus, walau khas Mba Femmy memakai istilah - istilah yang mungkin kurang banyak dikenal orang. Paling mencolok tentu saja pemakaian "dara" untuk mengganti kata "gadis" (walau sempat dipakai juga kata "gadis" ini hehe). Mungkin lebih biar terasa jadulnya aja kali ya. Diberi keterangan novel dewasa juga, karena menurut saya kontennya memang cukup dewasa. Untuk adegan seksnya sendiri tidak bisa dibilang eksplisit (tapi ya saya tahu emang ada haha), walau begitu adegan kekerasan dan berdarah - darahnya cukup membuat ngilu. So...jangan kasih buku ini buat dibaca anak - anak ya, walau genrenya memang fantasy. Because, adult need fairytale too :).

Note: Soundtrack film Stardust, yaitu Rule the Worldnya Take That itu bagus banget, plus selaras dengan ceritanya.





Story  Rate

Rating untuk Stardust ini adalah: 


Dan untuk kadar sensualitasnya: 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih sudah meninggalkan komen di Ren's Little Corner. Silakan untuk setuju/tidak setuju dengan review/opini saya tapi mohon disampaikan dengan sopan ya :)

Saya berhak menghapus komentar yang tidak nyambung dengan isi blog atau spamming (jangan sertakan link blog kamu/ link apapun di kolom komentar, kecuali untuk giveaway).

Komen untuk postingan yang berusia lebih dari 1 bulan otomatis akan dimoderasi.

Terimakasih sudah mau berkunjung! :D

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...