Selasa, 31 Mei 2016

Say Yes to Buku Impor Murah!!!!

Walau sudah lama lewat (lama banget malah, udah dua minggu!), saya tidak mau ketinggalan untuk merayakan Hari Buku Nasional yang jatuh pada tanggal 17 Mei kemaren. BBI sendiri juga merayakannya dengan membuat tema Postingan Bareng di bulan Mei dengan tema #BBIHariBukuNasional . Banyak kawan BBI yang menulis postingan tentang dunia buku di Indonesia dengan menarik, thought provoking dan rata - rata sebenarnya hampir sama bahasannya. yaitu tentang minat baca yang cukup rendah di Indonesia (saya bilang cukup, bukan sangat, karena sebenarnya masih ada harapan kalau mengutip katanya Raafi). Ada juga dari Mba Astrid dan Bintang yang membahas tentang pembakaran buku, salah satu issue buku yang sebenarnya mengkhawatirkan juga. 

Nah, apa yang akan saya bahas kali ini? Saya lebih menyoroti perihal harga buku impor.

Iya, buku impor. Mungkin saya akan dianggap ngga nasionalis karena lebih memilih baca buku impor, but hey, that's my preference, not yours dan ga ada hubungannya sama nasionalisme :P. Saya PRIHATIN (dengan capslock menyala) melihat harga buku impor. Budget buku saya memang kebanyakan beli buku impor dan harga buku impor memang tidak main - main. Mengingat kurs rupiah juga turun tak mau, maunya naik terus terhadap dolar. Betapa kagetnya saya saat mengecek harga buku di tokbuk online langganan dimana harga buku incaran saya melonjak drastis. Layaknya wanita paham ekonomi, alias gemar mencari diskon, saya mengunjungi tokbuk online lain dan ternyata harganya sama mahalnya walau ada selisih harga sekitar 10ribu rupiah. Tak putus asa, walau sebenarnya saya terlanjut skeptis, saya mengecek Book Depository, yang merupakan junjungan "umat" pembaca buku impor. And guess what, bedanya bisa 40-50ribu sendiri!

Saya hanya bisa ngebatin, betapa mahalnya buku impor di Indonesia (yang sepertinya akan disaingi dengan makin mahalnya buku terjemahan). Saya tahu bahwa banyak faktor kenapa buku impor di tokbuk online langganan saya harganya melambung tinggi. Selain kurs, ada juga faktor pajak, bea cukai, keuntungan, dll dsb yang saya juga tak paham hitungannya bagaimana. Inilah kenapa ajang book fair impor Big Bad Wolf kemaren sukses besar. Betapa banyak orang antri, walau tentu ada beberapa pihak yang "nyinyir":


Atau meme Beritagar yang sangat ngga lucu di bawah ini:



Mari kesampingkan efek sampingan setelah BBW selesai, seperti kenapa di BBW kok lebih banyak buku anak dan buku masak sehingga membuat saya yang nyari buku fiksi cukup merana disana (tapi tetap beli banyak...yang rata - rata ya titipan orang :P), atau betapa orang tua jaman sekarang sebagian memiliki krisis disiplin karena tidak bisa mengarahkan anaknya (dan dirinya sendiri) untuk menjaga kebersihan dan kerapihan di BBW. 

Apa yang membuat BBW ramai, bahkan kesannya lebih ramai dari book fair penerbit lokal?

BBW bagaikan angin surga bagi pembaca buku impor. Harganya yang bisa 70 persen lebih murah layaknya air pegunungan di tenggorokan musafir yang tersesat di padang pasir (oke, ini mulai lebay). Makanya, saya sedih kalau ada meme - meme yang menyinyiri event BBW. Sampai ada yang membandingkan dengan event ALF yang kebetulan juga dilaksanakan pada waktu yang sama. Beli buku pun rupanya sampai pada tahap "harus diwaspadai". Apa yang salah sebenarnya dengan bangsa Indonesia? Ketika beli tiket mahal, barang mewah, gadget dll dimaklumi, beli buku justru dipandang dengan sinis! Timpukan buku dianggap sama dengan artefak, dibeli hanya untuk dipajang. Padahal, itu hak dari pembaca yang membeli bukunya, apa akan dipajang saja atau dibaca. 

Saya menganggap bahwa baca buku dalam bahasa lain selain bahasa ibu itu penting. Saya melihat, membaca buku bahasa Inggris masih menjadi momok bagi banyak orang. Sering saya menjumpai pembaca yang ketika serial yang dia ikuti berhenti di tengah jalan, tidak mau baca buku bahasa Inggris. Seolah membaca dalam bahasa Inggris susah. Padahal, menurut saya jika ada kemauan pasti ada jalan, seperti yang terjadi pada saya. Indonesia sendiri sudah memasuki era MEA, mau sampai kapan bangsanya sendiri, sudah minat baca bukunya mengkhawatirkan, baca buku dalam bahasa Inggris saja masih enggan.

Tentunya, masih ada solusi bagi yang menginginkan buku impor murah, seperti beli e-book misalnya, (dimana saya sering kalap klik ebook - ebook murah seharga 1 dollar saja). Tapi bagi pembaca hybrid macam saya atau yang lebih prefer buku fisik, buku impor murah itu memang bikin hati senang. Semoga saja, nantinya harga buku impor bisa lebih murah lagi, tidak hanya karena kurs turun, tapi demand dari pembaca Indonesia juga besar, pajaknya dihilangkan (atau mungkin ditekan sampai serendah - rendahnya, kalau dihilangkan mungkin terlalu ekstrim), bea cukainya "jujur" (ini debatable sih), dan keuntungan tokbuk online tidak besar (ini juga sama debatablenya).

Semoga tidak hanya jadi impian saya saja ya :D.

17 komentar:

  1. Saya setuju mbak sama postingan ini.
    Mereka yang nyinyir buku cuma bakal jadi artefak mungkin tidak secara khusus menyisihkan waktunya utk membaca buku. Kita semua masing-masing punya 24 jam, jadi pasti punya prioritas2nya sendiri kan. Bukan berarti karena "mereka" nggak punya waktu cukup utk membaca, "kita" jg nggak punya waktu utk membaca.
    Terkesan egois sih pemikiran kayak gitu, macam this world revolves around you aja :D Mari hargai keputusan orang lain lah dalam menghabiskan uang, mau diinvestasikan jadi apa, toh nggak ikut nyumbang juga. Jadi ga ikutan rugi :D *kalem*

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku melihat bahwa koleksi gadget, tas, baju, make up seakan "dipahami", namun untuk buku, kesannya jadi dihakimi, dianggap artefak dll. Sama aja dengan baju, ga semuanya akan dipake terus - terusan kan :D

      Hapus
    2. Yap btl ..setuju dg mbs ren ��

      Hapus
  2. Aku sebagai pelajar sih ya jelas setuju dengan tulisan Kak Ren. Tau sendiri kan pelajar kek gimana? Uang aja masih dari orang tua, buat beli buku ya kadang masih mikir2, apalagi impor, haha.

    Tapi aku pribadi belum begitu tertarik sih dg buku2 impor. Sejauh ini masih suka sama produk dalam negeri, hehe. Kalau pun tertarik, pasti ya baca yang terjemahan, ga beli versi aslinya, hahahaha.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Coba sekali - kali baca buku dalam bahasa Inggris. Lumayan ngebantu TOEFL atau ujian lho

      Hapus
  3. yeaaay #timbukuimporgariskeras :) Semoga BBW akan tetap rutin diadakan ya.. terlepas dari pro kontranya kemarin ini. Dan semoga yang "latah2" kemarin itu memang beneran jadi suka membaca karena terjerumus diskon BBW. Dan semoga (lagi) pajak buku diturunkan, at least kita bisa kayak India deh yang harga buku bahasa inggrisnya nggak beda dengan buku lokal :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mau ke India :'(. Tapi itu juga karena penerbit - penerbit besar bikin pabriknya di India juga kan Mba Ast? Mungkin kalau bahasa Inggris dijadikan bahasa ke-2 atau ke-3 atau apalah, mungkin impian itu bisa terwujud (terus ntar banyak yang demo. Dianggap pro Barat, antek asing, aseng, dll :v)

      Hapus
  4. Artikel ini jeritan hatiku banget deh. Susah memang ngubah 1 bangsa ya. Jadi kita mulai dari diri sendiri dulu deh. Biarpun daster bolong, seri fave kaga boleh bolong wkwkwkkwkwkwkw.. Thanks buat postingannya Ren.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waduh, daster bolong sih, masih bisa dibeli dengan harga muraaah :D

      Hapus
  5. Aku setuju sekali baca buku asing itu jauh lebih enak dalam bahasa aslinya. Translation is like a filter, not everything gets through. Itu yang bikin meme beritagar pasti anak culun deh (a.k.a bukan kutubuku), kayaknya dia nggak tau kalo di dunia kutubuku berlaku "you will never read them all". Kita-kita mah udah tau nggak bakal terbaca semua, so what? Sama lah kaya orang beli gadget, featurenya juga nggak semua dipake, kan?

    Great post!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, aku mengakui kalau kadang terjemahan memang terasa seperti filter. Tapi tidak semua buku terjemahan lantas terjemahannya kaku. Ada juga yang masih enak dibaca.

      Yang bikin meme di beritagar emang ngehe. Atau iri karena ga bisa ke BBW :P

      Hapus
  6. sudah minat baca bukunya mengkhawatirkan, baca buku dalam bahasa Inggris saja masih enggan.

    Lah, Ren, baca buku berbahasa Indonesia saja masih enggan, bagimana baca yang Inggrinya? Yang penting ke BBW ditimbun dulu gitu kali ya. Betewe, kamu habis berapa Ren? Disimpen di mana timbunan buku impormu? Mungkin Ren tertarik bikin garaga sale gitu? #eh

    BalasHapus
    Balasan
    1. Garage sale ya ampun



      TTD

      Seseorang yang cuma bisa gigit jari karena BBW

      Hapus
    2. Lho, apa yang kubeli di BBW masih belum ada apa - apanya :D. Soalnya banyak wishlistku yang ngga ada disana Yon.

      Hapus
  7. In someway, I agree. Buku impor memang lebih baik dibaca aslinya. Bukan terjemahannya :( Terkadang banyak bagian yang nggak diterjemahkan dengan baik. Jadi beda. Soal yang meme, mereka belum tahu aja keseruan baca buku berbahasa inggris :/
    Terus, minat baca yang indo aja rendah, gimana kalo inggris? sebenernya balik lagi, yang penting minat baca orang indonesia digalakkan. Nggak peduli bahasa apa yang mereka baca, Toh, kebiasaan membacanya kan yang perlu digali. Imho, sih. :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku disini ga terlalu bahas minat baca sebenarnya ya :). Itu kan hanya sebuah pernyataan terkait "sudah minat bacanya rendah, baca buku bahasa Inggris saja enggan". Minat baca memang tidak melihat bahasa apapun, tapi alangkah baiknya kalau pembaca juga mau membaca buku selain bahasa nativenya sendiri

      Hapus

Terimakasih sudah meninggalkan komen di Ren's Little Corner. Silakan untuk setuju/tidak setuju dengan review/opini saya tapi mohon disampaikan dengan sopan ya :)

Saya berhak menghapus komentar yang tidak nyambung dengan isi blog atau spamming (jangan sertakan link blog kamu/ link apapun di kolom komentar, kecuali untuk giveaway).

Komen untuk postingan yang berusia lebih dari 1 bulan otomatis akan dimoderasi.

Terimakasih sudah mau berkunjung! :D

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...