Masih dalam rangka menyambut ultah BBI dan juga event bersama grup Sci-fi & Fantasy (SFF), kali ini saya pengen nulis sesuatu yang mungkin dari judul aja udah pada tahu ya. Yep, fantasy (dan juga sci-fi) karya anak sendiri. Ini bukan hal yang baru dan saya yakin sudah banyak dibahaaaas sebenarnya. Cuma saya tetep ingin mencoba mengulik kenapa fantasy lokal cukup sulit "bertarung" di negara sendiri.
Semua ini bermula saat negara api menyerang kenalan saya di Facebook yaitu Ai -yang sudah berbaik hati memasukkan saya ke grup kepenulisannya- mengetag saya di statusnya, status yang menurut saya sangat "thought provoking". Di statusnya itu Ai mengutip perkataan seorang penggiat dunia literatur yang baru saja mengikuti acara meeting dengan publisher, dimana sang penggiat berkata "ternyata fantasy itu seperti buku puisi, sulit sekali laku." Kemudian Ai pun menjabarkan beberapa point kenapa penulis fantasy sepertinya susah survive di dunia literature Indonesia. Tentunya saya sih, ga setuju 100% dengan beberapa point yang dia tulis, cuma memang beberapa hal ada benarnya.
Yang pertama, jalan menuju penerbitan itu sendiri. Karya fantasy lokal yang diterbitkan penerbit besar macam GPU, Elex, Gagas, dll menurut saya cukup sedikit. Saya sendiri tahu kalau ini jadi semacam gambling, karena menurut saya fantasy adalah genre yang segmented, alias genre yang (mungkin) cuma beberapa orang yang bisa mengerti dan menikmati. Tidak seperti romance yang bagi saya sangat mudah dicerna, tidak halnya dengan fantasy. Paling gampang dari segi penggambaran dunianya, kadang kalau saya perhatikan penulis suka bikin dunia super njelimet, apalagi kalau model - model high/epic fantasy. Belum pula ditambah dengan penulisan nama tokoh yang "super high maintenance" alias susah bener buat diucapin. Itu baru dua aspek kenapa beberapa pembaca kadang susah menikmati fantasy.
Lalu, tema fantasy lokal yang terlalu kebarat- baratan, aka banyakan seperti terjemahan. Bagi saya sih, ini ga masalah aslinya. Saya sering membacanya di buku Fantasy Fiesta (yang campuran konten lokal dan internasional) juga Ther Melian (murni fantasy dengan konten international), dan saya sih suka - suka aja. Tapi kebanyakan pembaca mengkritisi hal ini, dan secara tidak langsung membandingkan dengan novel terjemahan atau novel impor fantasy yang mereka baca. Dikupas habis sehabis - habisnya, si penulis lalu down berat dan kelanjutan novelnya pun tidak terdengar lagi. Apalagi jika novelnya diterbitkan penerbit besar, maka ada semacam ekspektasi tinggi dimana novel fantasy lokal yang dibuat itu harus sempurna, memakai kaedah - kaedah yang umum ada di fantasy, storytellingnya harus ciamik, dunianya masuk akal, dsb, dst, dll. Ini membuat saya kembali berpikir, apa karena ini fantasy lokal cukup mandek peredarannnya? Terkait masalah penerbitan, tentu saja it's all about business, karena jika buku fantasy lokal yang ditulis ngga laku, gimana mau balik modal?
Bagaimana dengan yang self-publish? Self-publish sebenarnya memiliki keuntungan tersendiri dimana penulis bisa bebas menulis karyanya, terutama fantasy, tanpa beberapa halangan tertentu. Misal, terlalu vulgar atau mendekati isu SARA. Saya sendiri cukup melihat bahwa fantasy lokal cenderung main aman. Sebagai contoh, kemaren Ai berkata sama saya, kira - kira seperti ini "bagaimana Hades yang merupakan dewa dari mitos Yunani bisa dicampur adukkan sama agama samawi, dengan iblis dan malaikat?" yang saya jawab, "pengarang di luar negeri ada yang pakai and it's work". Ya, Larissa Ione dengan Demonicanya, Gena Showalter dengan Lords of the Underworldnya, Sherrilyn Kenyon dengan Dark Hunternya sukses mencampur adukkan mitos dan semuanya membentuk cerita yang enak dibaca. Atau paling edannya ada Yuki Kaori dengan manga Angel Sanctuarynya yang kontroversial itu. Tentu saja mereka sukses karena di negara asalnya juga kebebasan berpendapat dijunjung tinggi dan yang saya tahu juga dari segi agamis tidak terlalu kuat. Bagaimana dengan di Indonesia? Sudah pasti di-banned, hahahaha XD.
Kembali ke yang self publish, walau bebas dalam hal ide cerita, mereka terkendala dari segi kualitas. Editor sudah jelas cuma diri mereka sendiri (atau mungkin minta bantuan teman yang freelance editor) sehingga kadang masih sering ditemui typo dll. Beberapa bahkan logic failed (meskipun novel dari penerbit besar juga bisa) sehingga dikritik habis - habisan. Belum lagi promosinya kurang besar - besaran karena masalah dana misalnya. Bagi penulis fantasy lokal tentu akan semakin jauh rasanya jarak untuk menerbitkan buku - buku karyanya. Untungnya sih, beberapa waktu ini saya mulai melihat titik terang. Bergabung dengan grup PNFI membuat saya jadi aware sama beberapa novel fantasy lokal. Yang paling sering saya lihat adalah penerbit Moka yang berani menerbitkan novel dengan tema SFF. Lalu ada Fantasteen, lini dari DAR Mizan yang menerbitkan novel remaja dengan tema fantasy dan horror. Kadang saya melihat Grasindo pun juga menerbitkan buku fantasy, sementara untuk GPU sepertinya sudah jarang (atau malah tidak)
Salah satu kelebihan novel fantasy terjemahan/impor adalah keberanian mengobrak abrik tema yang udah ada. Siapa sih yang bakalan menduga vampir bling - blingnya Stephanie Meyer bakal laku keras (sampai ada sinet plagiatnya di salah satu stasiun TV lokal)? Atau kenyataan bahwa mitologi Yunani dan Mesir bisa bersanding dengan kehidupan modern lewat sentuhan pena Rick Riordan? Itu baru yang dari novel untuk YA dan middle grade. Novel fantasy dewasa yang saya baca justru lebih banyak lagi memuat tema - tema yang sepertinya tidak mungkin dibikin, tapi nyatanya bisa. Lalu bagaimana dengan nofan lokal kita? Yah, dari beberapa nofan lokal yang saya baca (dan jujur, ngga banyak), memang masih banyakan berkiblat ke fantasy luar dan sejujurnya (lagi) ini bukanlah masalah. Cuma, ada ga sih fantasy lokal yang terasa fresh gitu? Yang ga mengambil konten lokal kayak wayang, atau dedemit dibikin beneran dedemit sehingga jatuhnya jadi horror?
Saya pernah nih melemparkan ide - ide gimana kalau makhluk supranatural (alias hantu or dedemit) Indonesia itu dibuat modern? Daripada bikin parodi pocong, atau kunti atau bikin cerita dengan judul sok provokatif tapi jatuhnya malah cheesy (raped by syaitan...really? *facepalm), kenapa tidak membuat mereka jadi keren sekalian? Inget lho, vampire, werewolf, zombie, yang aslinya makhluk mengerikan aja bisa diromantisasi dan diubah sedemikian rupa. Misal nih, bisa kan bikin kunti jadi semacam shapeshifter kayak succubus atau banshee? Atau bikin aja mereka mirip - mirip para Furies di myth Yunani, yang mana mereka mati lalu jadi kunti untuk balas dendam dan jatuhnya malah jadi pembela kebenaran? Atau, bikin aja pocong macam zombie. Ga perlu lagi deh impor zombie dari luar, we already have our local zombie, hahaha XD. Tentunya masih banyak lagi, tapi potensi kisah untuk novel fantasy lokal tanpa harus berkiblat ke mitos negara lain itu bisa aja lho. Walau tentu saja, jika penulis fantasy lokal masih lebih nyaman memakai mitos atau unsur fantasy luar, ya silahkan saja.
Akhir kata, terlepas dari konten novel fantasy lokal, entah itu temanya, legendanya, penamaan karakternya, dunianya, kemiripan dengan cerita fantasy yang sudah ada, terlepas dari pasaran novel fantasy lokal yang nyaris zero dsb, saya hanya ingin menyampaikan beberapa hal untuk penulis fantasy lokal. Yang pertama, menulislah. Iya, menulis aja. Ga usah pusing apakah draft kalian ternyata world buildingnya lemah atau malah kesulitan menentukan bakal masuk subgenre apa ini ceritanya. JUST WRITE. And then, NEVER GIVE UP. Jangan menyerah hanya karena beberapa reviewer mengkritisi nofan kamu dengan pedas menggigit (yah, saya tahu beberapa reviewer yang seperti ini), sehingga karya kalian mandeg. Kritik dan saran pasti ada lah, dan itu bisa kalian tentunya jauh lebih baik lagi. Ngga ada penulis yang langsung terkenal dan kalaupun ada tentunya sangat sedikit. Beberapa penulis terkenal pun tidak serta merta terkenal di usia belia, beberapa malah ada saat menjelang paruh baya. Menulislah fantasy kalian di kertas bukan karena ingin terkenal, tapi karena ingin karya itu dibaca banyak orang. Dan, ketika kalian sudah menerbitkannya, jangan lupa kasihtahu saya ya :)
Bagaimana menurut teman - teman pembaca Ren's Little Corner? Menurut kalian, apa yang kurang dari fantasy karya anak negeri? Apa ada tema - tema lain yang lebih bisa mereka eksplor? Atau ada yang ingin kalian sampaikan untuk para penulis novel fantasy lokal? Mau share judul nofan lokal yang menurut teman - teman mesti dibaca? Yuk, share your opinion! :)
Sama, jujur ga masalah sebenarnya kalau fantasi lokal mengambil unsur luar, tapi somehow rasanya lebih nyaman saja kalau tema nya tema lokal.
BalasHapusSeperti novel Anak Rembulan di atas yang pakai tema lokal, saya suka :)
Iya, seperti karya film atau lagu, memang lebih bagus karena sasarannya adalah masyarakat kita sendiri, maka konten lokalnya juga harus tetap dipertahankan.
HapusTapi, bagus juga sih kalau konten lokal dan konten yang jamak ada di fantasy terjemahan bisa digabung, yah namanya juga masih belajar, hahaha
ini masalahnya kenapa di Indonesia itu susah maju. apa apa mesti lokal. benar sekali jika memang mengambil unsur lokal itu sangat baik tapi seharusnya ini bisa dibebaskan. saya ini pecinta novel, anime dan bahkan drama yang disiarkan di televisi. untuk anime dan drama saya sangat menyukai keluaran jepang dan korea. anime di Jepang saat ini banyak sekali mengambil dari light novel. and banyak sekali inspirasi nya dari luar jepang dan juga dari budaya jepang sendiri. Tidak ada yang mengkritik bahkan inspirasi yang diambil dari luar justru memperkaya cerita itu sendiri.
HapusHmmm memang asyik kalau ngulik novel fantasi dalam negeri yaa. Etapi sebenarnya ada beberapa judul yang bagus tapi memang kurang bombastis seperti novel novel terjemahan sih. Kayak gerbang trinil, tanril (yang ini rada berat sih), atau yang ringan macam seri the bookaholic nya mba poppy. Bahkans novelnya Tere liye yang jelas udah punya fan base juga kurang kedengeran gaungnya, jadi aku juga baru akhir akhir ini aja tahu kalau dia juga nerbitin novel fantasi.
BalasHapusKayaknya sih memang publikasinya kurang kenceng ya, soalnya kadang modalnya novel fantasi itu cuma mulut ke mulut, ngga kayak novel romance yang dengan gampangnya bisa difilmin terus dicetul dengan harga lebih mahal ((heh))
Soalnya bikin film dari nofan lokal susyeeeh Viiin. Jatuhnya ntar pasti ke animasi deh, hahaha. Kalau romance kan gampang, terus balik modalnya juga cepet. Kalau nofan, ntar bisa jadi naga ind*siar deh :v
HapusCuma, menunggu banget ada nofan lokal yang nantinya bisa difilmkan :D
GPU taon kmrn ada terbitin sedikit nofan. Macam Triangular Labyrinth, trus apa itu yg ada Angelnya.
BalasHapusMasalahnya pocong & kunti lebih dianggap horror drdp seram.
maksudku lebih dianggap horror drpd keren.
HapusIya, malah dianggapnya horror dan nakutin. Sudah mindset masyarakat sepertinya ya :v
HapusMenurut saya, banyak org Indo sudah keburu ilfil sama fantasi lokal. Kalo diliat di bioskop, film fantasi Indo kalo ga pocong, kuntilanak, dan Horor. Sayang, reputasi keburu hancur bahkan sebelum penulis-penulis fantasi yang keren muncul.
BalasHapusSaya belum baca Anak Rembulan. Penasaran pengen baca.
Hahaha, itu pocong ma kunti bukan fantasy Sab XD. Malah emang asli horror. Belum ada yang berani ngambil tema yang ada lalu dibikin semacam twist gitu ya. Penulis nofan lokal pun kebanyakan masih memakai tema yang overused
HapusKalo aku sih mengharapkan hantu-hantu lokal yang belum 'terkenal' muncul jadi makhluk dunia fantasi yang disulap jadi keren, kaya katamu.
BalasHapusMisalnya nih jerangkong. Aku nggak tau di tempat lain kaya apa yg namanya jerangkong. Tp kalo dari crita yang aku denger bentuknya kaya kelelewar tapi cuma tulang belulang doang dan kalo ditangkep trnyata yg ketangkep cuma septoong tulang manusia. Nah yang kaya gitu2 kan bsa diolah lagi.
Dan jangan terus2an pake formula horor. Apalagi horor plus erotisme.
Bahas makhluk2 gaibnya dikaitin sama sci-fi kaya Supernova juga malah tambah asyik. Asal si penulis mau riset gila-gilaan.
Kalo fantasinya mau dikaitin sama legenda, dongeng, ato mitos lokal aku juga malah puengen banget baca.
Kalo kunti atau pocong, ehmm..oke2 aja sih asal berani menceritakan dari sudut pandang yang bener2 beda. Dan itu juga nggak tau pembcanya bisa nerima ato ga kunti yang beda 100 persen.
Aku setuju banget yang masalah horror sama erotisme. Sangat Indonesia sekali, hahahaha.
HapusSebenernya sayanpun kepikiran satu karakter demit indo yang bs dibuat nofan lokal. Were Pig atau manusia babi istilah lain dari Babi Ngepet. Kesannya ga keren banget kan. Tapi bayangin jika lelaki semacam Rio Dewanto yang menjadi castnya serta membuat ulang kisah mitologi babi ngepet?? Bahwa sebenarnya bukan maling melainkan kutukan? Nah loh.
BalasHapusAtau kuntilanak? Wanita berparas cantik berkaki kuda yang dihukum karena seorang penyihir alias dukun? Well imajinasi banyak dan bisa dieksplor tergantung kesungguhan para pembuat cerita. Saya pribadi sering merasakan kehancuran mood hingga berhenti total untuk menulis.
Mengenai sulitnya pangsa pasar fantasy. Saya pikir itu karena faktor kebiasaan. Padahal setelah saya pikir2 lagi cerita dongeng yang sering kita dengar waktu kecil nyaris semuanya fantasy. Kecuali unyil usro :)
Tapi, jangan babi ngepet juga sih MbaMes, geli aslinya bayangin hahaha XD. Tapi bisa jadi jika mitologi babi ngepet ini ditwist dari yang biasanya ada, bisa jadi bacaan yang mengasyikkan ya :)
HapusAyo Mbames, nulis si werepig bermuka Rio Dewanto ini, hihihihi ^^
Sebenernya agak malu sih karena ngga pernah baca karya fantasi anak negeri, sempet baca dulu karyanya Fahrul R.U.N yang judulnya RedFang, tapi karena beberapa hal dan lain sebab (karakternya songong dan gaya penulisannya ngebosenin) baru dua chapter udah di taroh, hahah.
BalasHapusTerus aku juga agak terusik karena temanya ngga lokal-lokal banget, yaitu dibikin kerajaan tapi yang keingris-ingrisan, kan jadinya gimana gituuu.. entah karena emang akunya juga skeptis dulu atau apa tapi rasanya jadi males baca.
Meskipun begitu, aku sebenernya lebih pengen baca kisah fantasi yang mengambil tema dari legenda di Indonesia. Orang luar mungkin punya Werewolf, Vampire, Shapeshifter, Mytologi Yunani dsb, tapi kita kan punya Roro Jongrang, Nyi Roro Kidul, Petruk, Sangkuriang, macem-macem kan? Atau ambil aja Soekarno, bikin Soekarno sama Hatta jadi pemburu jin di malam hari misalnya, semacam Lincoln yang ngeburu vampire. Mungkin nanti jatohnya bakal jadi dongeng, atau cerita horor kalo masukkin pocong dan kawan-kawan, tapi unik kan? Kayak yang Primadita bilang, toh dongeng atau legenda di Indonesia itu murni fantasi masyarakat jaman dulu untuk menciptakan asal-usul suatu tempat atau tradisi, kalo orang jaman dulu aja bisa, kenapa orang jaman sekarang engga? Kita punya ciri khas yang lebih unik dari mereka, kalo ngga dipake kan sayang.
Seperti yang aku kemukakan di atas, agak sulit rasanya membuat sosok historis negara kita jadi kayak pemburu pocong macam Abraham Lincoln jadi pembunuh vampir. Masalahnya di Amerika, freedom of speechnya memang tinggi, jadi walau ada yang keberatan, buku si Abraham ini tetap saja ditulis (bahkan dibikin filmnya, ckckck). Kalau disini, sudah didemo duluan kayaknya X)
HapusWalau gitu, menarik banget idenya. Bisa aja kan para pocong atau jin itu kiriman Belanda dan Bung Karno sama Bung Hatta membasmi mereka sembari memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Fantasy have limitless possibilities after all :)
Untuk saat ini saya cuma bisa menikmati kisah-kisah fantasi lokal (dengan unsur budaya asli indonesia) cuma lewat komik. Tapi, kalau lewat komik aja bisa kenapa di tulis jadi novel enggak? apalagi kalau lewat novel kan imajinasinya bisa lebih luas tanpa terbatas panel?
BalasHapusBetul. Pas kemaren aku baca re:on, itu ada Iis Yuniarto yang bikin Ramayana jadi modern dan khas komik shonen. Bagus banget kalau dijadikan novel ya. Cuma, aku perhatikan orang masih lebih nyambung kalau fantasynya di komik ketimbang membacanya di novel, karena deskripsi novel juga suka berbelit2 untuk genre fantasy
Hapusiya aku sempet baca yang versi Ramayana modernnya di Re:On. keren banget, terus unik juga waktu rahwananya ya(?) yang dijadiin monster gitu, yang itu tuh baru beda.
HapusSebenernya keren juga tuh kalau kita mengubah citra "hantu-hantu Indonesia" menjadi lebih baik kayak zombie, vampire, sama werewolf yang penggemarnya pasti banyak banget sekarang.
BalasHapusCuma saya ngebayanginnya kok jatuhnya malah ketawa-ketawa sendiri ya.
Apakah sebegitu jeleknya citra Kunti, Pocong, Rorojonggrang dkk di mata saya (atau teman sekalian)?
Abis setan-setan di Indo kayak gembel sih kalo dibandingin setan di luar, makanya coba aja dipakein baju baru, siapa tau jadi lebih kinclong, hehe
HapusYah itulah masalahnya. Udah dibikin gembel duluan. Tapi bahkan vampir gembel sekalipun masih keliatan keren. Kenapa y?
HapusDulu Vandaria sempat booming, dan saya mulai suka dengan serial Vandaria. Sampai ngikuti newsletternya. Tapi ternyata sekarang lebih condong ke game card. Dan saya jadi mulai malas ngikutin.
BalasHapusBtw, biasanya buku2 fantasy harganya lebih mahal. Ngaruh juga ga sih ke peminatnya?
Sepertinya ngaruh mbak :)
HapusBuku fantasy yang tebal mungkin saja bikin pembaca keder duluan.
Coba deh baca artikel ini. http://www.telegraph.co.uk/news/shopping-and-consumer-news/11284934/Fewer-than-half-of-readers-finished-bestselling-novels.html
Disana disebutkan buku best seller pun nggak banyak yang selesai dibaca.
Jika dilihat di kita, buku bagus pun belum tentu kebeli (karena mahal, tebal, dll) apalagi buku fantasi lokal.
Fantasi lokal ya. Aku memang concern dengan lini lokal. Secara umum, segala yang berbau lokal memang sepertinya tidak terlalu booming. Selain novel; film dan komik juga mengalami hal yang sama. Beberapa hari yang lalu aku nonton video di Youtube tentang punahnya komik lokal di toko-toko buku. Oke, ini memang di luar konteks yang sebenarnya novel fantasi. Tapi kita bisa samakan dalam segala sisi.
BalasHapusPertama. Memang novel fantasi terjemahan atau luar negeri memiliki ragam yang banyak. Tinggal sebut saja mau baca novel yang seperti apa, pasti ada rekomendasinya. Tidak halnya dengan novel fantasi lokal. Sebenarnya bisa kita lihat bisa dihitung jari novel fantasi lokal di Indonesia, dan hampir kesemuanya adalah tentang high-fantasy atau horror-fantasy yang, aku pikir, masih jauh tidak matang dari novel-novel karya penulis luar negeri.
Kedua adalah bagaimana kultur orang Indonesia yang masih berpikiran primitif. Apa itu novel fantasi? Orang-orang tua pasti akan underestimate setelah mendengar kata itu dan tidak menyetujui anak-anak mereka menjajalnya. Okelah jaman sekarang sudah mulai terbuka dengan hal-hal tersebut. Intinya, kita masih berkembang dalam hal literasi fantasi Indonesia.
Aku optimis kelak novel fantasi Indonesia akan booming di negeri sendiri bahkan diterjemahkan ke Bahasa Asing. Kita lihat banyak novel fiksi karya penulis lokal beberapa sudah diterjemahkan dalam Bahasa Inggris karena subgenre dan tema yang memang sudah digemari sejak lama di Indonesia, seperti Negeri 5 Menara dan buku-buku Eka Kurniawan. Tentu saja bila genre fantasi sudah banyak digemari pembaca Indonesia, akan lebih mudah untuk lebih maju daripada novel terjemahan.
Satu saja harapanku: jangan letih berkreasi. Kita tidak akan hidup tanpa ide kreatif.
Salam Fantasi,
Raafi
Memang di Indonesia novel Fantasy gak begitu terdengar gaungnya. Apalagi ada salah satu penulis novel Fantasy lokal yang langsung nyerah dan malah balik nyerang kritikus yang mengkritik karyanya habis-habisan. Pemikirannya nggak dewasa sama sekali, sangat disayangkan ada penulis lokal yang gak bisa nerima kritikan kayak dia.
BalasHapusKalau mau tahu macam-macam novel Fantasy lokal bisa kunjungi http://fikfanindo.blogspot.com/
Disana banyak banget novel Fantasy yang dikupas habis sama penggemar novel fantasy lokal dan para penulis novel fantasy juga. Hitung-hitung bisa tau apa kesalahan mereka dan bisa menjadi lebih baik lagi!
Thank you so much! I love your blog and the discussion here
BalasHapusSaya penulis nonfiksi, tapi tiba-tiba dapat imajinasi untuk menulis novel fantasy lokal.
Sepakat sekali dengan diskusi-diskusi di sini. Semoga saya bisa segera mewujudkan tulisan saya dan bisa berdiskusi langsung dengan Anda.
cheers,
Regis