Judul Asli : The White Queen
Pengarang : Philippa Gregory
Penerbit : Esensi
Tebal : 578 halaman
Diterbitkan pertama kali : Februari 2012
Format : Paperback
Target : Remaja
Genre : Historical Fiction
Bahasa : Indonesia
Seri : Perang Sepupu (The Cousin's War)
Buku ke : 1 (satu)
Status : Punya sendiri (edisi Advanced Uncorrected Proof)
Website Pengarang: Philippa Gregory
Penerbit : Esensi
Tebal : 578 halaman
Diterbitkan pertama kali : Februari 2012
Format : Paperback
Target : Remaja
Genre : Historical Fiction
Bahasa : Indonesia
Seri : Perang Sepupu (The Cousin's War)
Buku ke : 1 (satu)
Status : Punya sendiri (edisi Advanced Uncorrected Proof)
Website Pengarang: Philippa Gregory
Sinopsis
Elizabeth Woodville adalah seorang wanita biasa di tengah perang saudara antara klan Mawar Merah dan Mawar Putih.
Secantik apakah ia hingga sangggup membuat seorang raja tergila-gila dan mengabaikan kepentingan negara demi menikahinya?
Sehebat apakah ia hingga mampu menjadi seorang ratu negara besar seperti Inggris?
Siapakah ia hingga bisa mempengaruhi pertentangan sengit dua klan yang saling membenci?
"Ini bukan cerita perang. Ini bukan cerita tentang ksatria di tengah hutan gelap dan putri jelita di menara air yang diterangi sinar bulan purnama. Ini bukan cerita tentang janji-janji cinta yang menjadi puisi dan dinyanyikan sepanjang masa."
Ini sebuah kenyataan, bahwa sejarah kerap menelantarkan peran wanita saat membahas perang dan para pemimpin pria.
Ini cerita tentang seorang wanita yang berkuasa dan ambisius yang 'tersimpan" di balik layar kemegahan sejarah Inggris.
Ada yang bilang ia semata-mata memiliki keberuntungan.
Ada yang cemburu pada kecantikannya yang misterius.
Ada yang bilang ia licik bagai ular.
Dan, ada yang menuduhnya penyihir.
Review
Aku bukanlah segulung pita. Aku bukanlah sepotong daging. Aku tidak dijual untuk siapapun
(Elizabeth Woodville )
The White Queen atau Ratu Mawar Putih menceritakan kisah hidup Elizabeth Woodville, istri dan ratu dari Raja Edward IV dan kiprahnya dalam dunia politik dan pemerintahan Kerajaan Inggris. Dari seorang janda yang hanya rakyat jelata menjelma menjadi ratu yang penuh ambisi mematikan. Seluruh kisah di buku ini diceritakan dari sudut pandang Elizabeth, walaupun untuk beberapa bagian, seperti saat Edward berada di medan perang, diceritakan dari sudut pandang ketiga.
Pada awal membaca ini, saya tertegun. Siapa sih Elizabeth Woodville ini? Apa dia orang sama seperti si The Virgin Queen, Elizabeth I. Setelah saya cari di wikipedia, ternyata orang yang berbeda (jamannya saja sudah beda :P, Elizabeth Wodville hidup di era Plantagenet, sementara Elizabeth I adalah cicitnya). Dan nama Elizabeth adalah nama yang umum di Inggris.
Kisah Ratu Mawar Putih berawal pada Musim Semi tahun 1464. Pada saat sedang terjadi perang saudara di Inggris, atau yang lazim dikenal dengan The War of Roses (Perang Mawar), antara Keluarga Lancaster dan Keluarga York. Elizabeth Woodville yang baru berusia 27 tahun, baru saja menjanda, dan bersama dua anaknya dari suami terdahulu, Thomas dan Richard, meminta pertolongan sang Raja baru, Edward IV dari York, yang menggulingkan pemerintahan sebelumnya, Raja Henry VI dari Lancaster, untuk mengembalikan tanah milik Elizabeth sepeninggal kematian suaminya. Siapa yang menyangka bahwa Edward akan jatuh cinta pada Elizabeth? Bahkan bersedia menikahi Elizabeth, yang notabene hanyalah wanita biasa, rakyat jelata, walaupun ayahnya juga adalah bangsawan?
Tapi Elizabeth jelas bukan wanita biasa. Karena dia adalah keturunan Melusina, sang dewi air yang darahnya mengalir di bangsawan - bangsawan Burgundy, melalui sang ibu, Jacquetta, dan kini di darah Elizabeth sendiri. Elizabeth dan Edward IV akhirnya menikah diam-diam, dan setelah Edward IV memastikan kemenangan mutlak York atas Lancaster, Edward IV pun mengangkat Elizabeth menjadi Ratu. Sang Ratu Mawar Putih..
Sayangnya, banyak orang yang tidak setuju dengan pernikahan mereka berdua dan diangkatnya Elizabeth menjadi ratu. Diantaranya adalah Lord Warwick, sepupu Edward. Hal ini mengakibatkan pecahnya perang antar sepupu yang kedua, dimana Warwick membelot ke pihak Lancaster dan mengangkat senjata melawan Edward IV. Dia bahkan menuduh Elizabeth sebagai penyihir. Di bagian ini adalah salah satu tanda, bahwa sejarah, kerap kali menyalahkan pihak wanita terlebih dahulu untuk semua permasalahan yang mereka hadapi..
"Sangat mudah untuk menyalahkan sang istri. Selalu lebih mudah untuk menuduh seorang ratu memberikan pengaruh buruk daripada menyatakan diri melawan sang Raja "
(Edward IV kepada Elizabeth Woodville)
Perang pun terjadi, dan Elizabeth harus membayar mahal atas ambisinya untuk menancapkan pengaruh keluarga Rivers (keluarganya) dalam monarki Inggris. Dimulai dengan kehilangan ayahanda tercintanya dan salah satu saudara lelakinya. Beruntung Elizabeth masih memiliki sang ibunda, Jacquetta, yang juga menjadi pilar yang mendukung Elizabeth. Disaat Edward IV mulai kewalahan menghadapi serangan Warwick yang juga didukung Margaret dari Anjou, permaisuri Raja Henry VI, Edward yang ketakutan karena merasa dia akan kalah, ditenangkan oleh Elizabeth. Dari sini saya bisa melihat, bahwa dua orang ini memang benar-benar sangat mencintai, tidak hanya menikah atas dasar nafsu semata, seperti yang saya kira saat pertama kali mereka bertemu.
"Hanya orang bodoh yang tidak takut akan apapun,"kataku. "Dan seorang yang berani adalah ia yang tahu akan takut lalu keluar dan menghadapi rasa takut itu. Waktu itu kau lari tapi sekarang kau telah kembali. Apakah kau akan lari dari pertempuran besok? "
"Demi Tuhan, tidak!"
Aku tersenyum."Kalau begitu kau adalah pria yang kunikahi. Karena pria yang kunikahi adalah seorang pemuda yang berani, dan kau masihlah seorang pemberani. Pria yang kunikahi tidak mengenal rasa takut, pun tidak memiliki seorang putra, atau mengenal cinta. Tapi semua itu telah menghampiri dan merubah kita, namun kita tidak dimanjakan olehnya."
(Elizabeth Woodville dan Edward IV )
Walaupun akhirnya Edward IV sekali lagi menang atas keluarga Lancaster dan memastikan keluarga York berkuasa secara absolut, bukan berarti ancaman terhahadapnya berkurang. Apalagi saat ini ancaman datang dari dua saudara kandungnya sendiri. George, Duke of Glochester dan Richard. Anthony Woodville, saudara Elizabeth yang bijak, menjabarkan perbedaan ketiga bersaudara ini dengan sangat unik..
Edward hidup seakan-akan tidak ada hari esok. Richard hidup seakan - akan tidak menginginkan hari esok. Dan George seakan - akan berharap hari esok akan diberikan kepadanya secara cuma - cuma (Anthony Woodville)
Apalagi setelah Elizabeth melahirkan putra pertama mereka, Edward, Pangeran Wales, semakin kecil kemungkinan George menjadi pewaris raja. Dihalalkannya segala cara untuk merebut tahta. Menuduh Elizabeth penyihir (yang bukan berita baru tentunya) dan bahkan menuduh sang kakak, Edward IV, sebagai anak haram, dan tidak berhak atas tahta Inggris, George sebagai anak sah lah yang berhak. Walaupun Edward IV sangat sayang pada sang adik, dia akhirnya harus bersikap sebagai Raja dan Raja harus menyingkirkan semua ancaman di depannya, walau ancaman itu adalah adiknya sendiri. George pun harus menjemput ajal dengan cara yang memalukan dan juga mengenaskan..
Tidak ada yang abadi, begitu juga manusia. Saat Inggris mulai damai, tanpa ancaman perang, pada April 1483, Elizabeth harus menghadapi kenyataan pahit, bahwa dia harus merelakan suami terkasihnya, Edward IV, pergi ke alam baka. Di saat inilah perang kembali bergejolak. Elizabeth yang berencana untuk menahbiskan sang putra, Pangeran Edward dari Wales untuk menjadi raja, harus dikudeta oleh saudara iparnya sendiri , Richard, Duke dari Gloucester. Richard menculik Edward dari Wales, dan menyekapnya di Menara. Lalu mendesak Elizabeth, untuk mengirimkan putra kedua, yang juga bernama Richard, untuk menemani sang kakak. Elizabeth yang mencemaskan keselamatan kedua putranya, akhirnya melakukan sesuatu yang tak pernah diduga oleh adik iparnya itu...
Sekuat tenaga Elizabeth mengumpulkan sekutu, pada akhirnya Richard pun naik tahta menjadi raja, dan memiliki nama Richard III. Elizabeth telah kehilangan suaminya, kemudian kakaknya tercinta, Anthony Woodville dan putra Grey-nya,Richard Grey. Bahkan dia mendengar desas desus bahwa putranya dengan Edward IV, Edward V, dan adiknya Richard, duke dari Shrewsbury, dibunuh di dalam Menara. Putri pertamanya, Elizabeth of York, juga menjauh dari dirinya dan menuduh Elizabeth telah dibutakan oleh ambisi akan kekuasaan sehingga rela mengorbankan darah dagingnya sendiri. Apakah Elizabeth sudah kalah, ataukan dia sebenarnya masih memiliki kartu as untuk merebut kekuasaan Monarki Inggris? Jawabannya hanya ada di buku Ratu Mawar Putih ini.
Saya mendapat draft "Ratu Mawar Putih" saat Esensi menawarkan beberapa orang untuk menjadi first reader di salah satu threadnya Goodreads Indonesia . Sebenarnya ini bukanlah yang pertama kali saya jadi first reader, karena saya sudah sering melakukannya, hanya untuk buku - buku terbitan luar negeri, bukan terjemahan. Dari tiga pilihan yang ditawarkan Esensi, saya memilih buku ini. Kenapa? Karena saya suka sekali dengan sejarah. Dan walaupun bukan penggemar sejarah Inggris, tidak ada salahnya membaca buku ini, demi menambah ilmu pengetahuan.
Sang pengarang, Phillipa Gregory, yang kita kenal dengan karyanya, The Other Boleyn Girl (sayang saya belum nonton filmnya =P), menjelaskan bahwa walaupun ini fiksi, sebagian kejadian dalam buku ini adalah fakta. Dan itu memang benar adanya, apalagi saya juga sering buka Wikipedia, karena penasaran dengan peristiwa - peristiwa yang terjadi di buku ini.
Beberapa fakta menarik yang saya dapat adalah, jauh sebelum Putri Diana menikahi Pangeran Charles, atau yang masih lebih fresh lagi, Kate Middleton yang menikahi Pangeran William, pendahulu mereka, Elizabeth Woodville, seorang putri dari bangsawan rendah, menikahi Edward IV, Raja Inggris, yang seharusnya menikahi putri atau orang yang sederajat dengannya. Banyak yang mengatakan bahwa Elizabeth Woodville adalah wanita tercantik di Inggris saat itu.Walau setelah melihat gambar disamping ini, kita akan berpikir, inikah yang dinamakan cantik pada saat itu? Tapi toh, Edward IV juga bukanlah orang yang tampan sekali, walaupun dia adalah playboy kelas berat.
Selain itu, Phillipa Gregory juga mencampurkan unsur mistis di buku ini. Kita berkali - kali disodorkan fakta bahwa Elizabeth dan ibunya Jacquetta, adalah keturunan dari Melusina (atau Melusine), sang dewi Air. Banyak beberapa peristiwa dalam buku ini yang dikaitkan dengan hubungan antara Elizabeth dan Jacquetta sebagai putri Melusina. Diantaranya badai besar yang menghadang Margaret dari Anjou untuk tiba di Inggris dan memberi waktu untuk Edward IV menyiapkan pasukan, lalu banjir bandang yang menghalangi Richard III menangkap Edward V. Bahkan, di halaman - halaman awal saja sudah terasa unsur mistis, seperti Jacquetta yang menyuruh Elizabeth menarik benang, dan memastikan dirinya akan menikahi Edward IV.
Membicarakan Edward IV dan Elizabeth Woodville, saya terus terang menyukai pasangan ini. Di saat banyak pasangan pada saat itu menikah atas dasar paksaan dan perjodohan, Edward IV dan Elizabeth menikah atas dasar cinta, walaupun saya lebih melihatnya awalnya hanya nafsu semata. Beberapa bab-bab awal, kita akan membaca sang Raja meluncurkan rayuan gombalnya, yang terus terang bikin saya ketawa dan memutar mata. Elizabeth sendiri pun bertranformasi, menjadi ratu yang haus kekuasaan. Saya agak terganggu membaca Elizabeth yang baru ini, begitu penuh ambisi dan tidak mau mengalah. Tapi itu adalah tabiat yang memang harus dimiliki seorang ratu. Sulit untuk bersimpati pada Elizabeth, di lain waktu dia bisa begitu kejam dan licik, di sisi lain dia begitu rapuh, seperti saat harus kehilangan putranya yang masih belia.
Dan tidak lengkap membicarakan raja, tanpa membicarakan "selingkuhannya". Edward IV bukan orang suci, dia adalah manusia biasa, yang juga tidak bisa mengkontrol hawa nafsunya. Di buku ini juga diceritakan tentang selingkuhannya yang paling terkenal, Jane Shore, atau Elizabeth Shore. Saya kagum dengan Elizabeth Woodville, yang memaklumi kebiasaan suaminya bermain wanita. Dan juga keyakinan dirinya bahwa Edward akan selalu kembali kepadanya. Tidak banyak diceritakan tentang perselingkuhan Edward dengan Elizabeth Shore. Hanya Elizabeth bertemu dengan Elizabeth Shore, saat suaminya telah meninggal.
Adegan penghukuman Elizabeth Shore, yang didakwa telah membantu pemberontakan terhadap Richard III, seperti yang bisa kita lihat di atas ini adalah salah satu favorit saya. Karena bukannya menghinanya sebagai pelacur, rakyat justru mengelu-elukannya karena Elizabeth Shore dianggap tidak bersalah.
Anthony Woodville adalah tokoh favorit saya. Menurut saya, saudara laki - laki Elizabeth ini adalah tokoh paling "waras" dalam buku ini. Bijak layaknya seorang filsuf, dan penyayang layaknya seorang kakak laki - laki. Begitu banyak nasihat dan dukungan yang diberikannya untuk Elizabeth. Jika Jacquetta, ibu Elizabeth adalah sisi gelap yang mempengaruhi putrinya, dengan ilmu mistis dan mitos Melusina, maka Anthony adalah sisi terang, yang akan membela adiknya kapan saja, walau kadang dengan cara yang menyakitkan hati. Saya sendiri hampir menangis saat membaca adegan menjelang eksekusi Anthony. Saat dia mendengar nyanyian Melusina yang dilantunkan saat salah satu keturunannya akan mati, dan menyadari bahwa apa yang dikatakan adik dan ibunya tentang Melusina itu benar...
Buku ini juga membuat saya berspekulasi, utamanya tentang kisah Edward V dan adiknya Richard, Duke of Shrewsbury. Kisah mereka dikenal masyarakat dengan "Princes in The Tower" atau Pangeran dalam Menara. Saya pertama kali tahu tentang kisah ini saat melihat anime Black Butler karya Yana Toboso, yang mengisahkan keadaan Inggris pada era Victoria. Banyak orang mengatakan bahwa keduanya mati terbunuh, hanya tidak jelas siapa pelakunya. Apakah Richard III, paman mereka, atau Henry VII dan Duke of Buckhingham yang ingin merebut tahta dari Richard dan melihat dua putra dari Edward IV ini sebagai ancaman, tidak ada yang tahu. Kematian keduanya tetap menjadi misteri sampai saat ini. Walaupun di buku ini, Phillipa Gregory menceritakan kisahnya dari segi lain, yang mungkin akan membuat pembaca sedikit terkejut..
Hal terakhir yang bikin saya jengkel adalah betapa banyaknya nama Richard, Edward dan George di buku ini! Saya paham bahwa mereka adalah orang nyata, dan kenyataan jaman dulu orang Inggris tidak begitu canggih dalam penamaan. Semoga pada saat diterbitkan kembali, mungkin Esensi bisa menambahkan keterangan gelar mereka, seperti Richard, duke dari mana, Edward raja keberapa dan lain -lain, supaya pembaca tidak bingung.
Untuk terjemahannya, saya acungi jempol buat Esensi, karena terjemahannya mengalir lancar dan enak dibaca. Mungkin hanya pendapat saya sendiri, tapi typonya tidak terlalu banyak. Ada beberapa bagian yang butuh diubah kata-katanya agar lebih enak lagi dibaca. Typo yang agak mengganggu mungkin, penggunaan kata "saya" yang berubah jadi "aku" di paragraf akhir di bagian catatan penulisnya. Ada gambar peta Inggris di halaman depan dan silsilah keluarga Plantagenet yang terbagi jadi tiga, yaitu Keluarga Lancaster, York dan Tudor. Covernya sih sudah lumayan bagus, walaupun saya pribadi lebih suka cover aslinya.
Akhir kata.. Ratu Mawar Putih karya Phillipa Gregory ini adalah bacaan wajib bagi penggemar sejarah, utamanya sejarah Inggris. Dan mereka yang tertarik membaca tentang Era Plantagenet, sebelum digantikan Era Tudor.
Pendapat pribadi saya tentang buku ini : Sejarah, tidak peduli entah itu masa lalu, masa sekarang atau masa depan, akan selalu merendahkan wanita dan membuatnya menjadi masyarakat kelas dua. Tapi mereka juga lupa, bahwa wanita juga membuat banyak perubahan besar di dunia ini.
... bahwa bukanlah masalah jika seorang istri adalah setengah ikan, jika seorang suami adalah makhluk fana. Jika ada cukup cinta, tidak ada - alam, bahkan kematian itu sendiri - yang dapat menghalangi dua insan yang saling mencintai (Legenda Melusina)
Sumber tambahan dan gambar : Wikipedia
Rating Cerita
Sensualitas
Ada adegan intim tapi tidak diceritakan secara eksplisit dan masih aman untuk dibaca pas puasaan .